Gangguan Perkembangan Pervasif (Pervasive Developmental Disorders /PDD)
Terdiri dari beberapa jenis PPD di antaranya adalah :
1. Autism
2. Aspergers
3. Retts
4. Childhood Disintegrative Disorder (CDD)
5. Gangguan pervasive opada masa kanak-kanak (Pervasive Developmental Disorder) or Not Otherwise Specified (PDD:NOS)
Beberapa perbedaan antara Autis, Aspergers, Retts, Gangguan disintegratif padamasa kanak (Childhood Disintegrative Disorder /CDD), Pervasive Developmental Disorder or Not Otherwise Specified (PDD:NOS adalah :
AUTISM
• Ketidakmampuan dalam bersosialisasi dan berkomunikasi.
• Sampai dengan umur 3 tahun mempunyai daya imajinasi yang tinggi dalam bermain dan mempunyai perilaku, minat dan aktifitas yang unik (aneh).
• Dikategorikan sebagai ketidak mampuan dalam bersosialisasi dan mempunyai minat dan aktifitas yang terbatas tanpa adanya keterlambatan dalam kemampuan berbicara. Kecerdasannya berada pada tingkat normal atau diatas normal.
• Terdapat 6 GEJALA UTAMA AUTISM1. Kegagalan untuk mengembangkan khidupan sosial normal2. Gangguan bicara, Bahasa dan komunikasi3. Abnormal Relationships to Objects and Events4. Respon tidak normal terhadap stimulasi sensoris5. Perbedaan perkembangan dan keterlambatan perkembangan6. Dimulai selama usia bayi atau anak
SINDROM RETT’S
• Sindrom Rett adalah penyakit degeneratif, ketidakmampuan yang semakin hari semakin parah (progresif).
• Hanya menimpa anak perempuan. Pertumbuhan normal lalu diikuti dengan kehilangan keahlian yang sebelumnya telah dikuasai dengan baik- khususnya kehilangan kemampuan menggunakan tangan yang kemudian berganti menjadi pergerakan tangan yang berulang ulang (seperti mencuci tangan) mulai pada umur 1 hingga 4 tahun.
• Gejala dapat dimulai usia 6 bulan hingga usia 18 bulan
• Pertumbuhan kepala lambat
• Kehilangan kemampuan menggunakan gerakan tangan
• Berkembang seperti gejala khas autism
GANGGUAN DISINTEGRATIF PADA KANAK-KANAK (Childhood Disintegrative Disorder /CDD)
• Pertumbuhan yang normal pada usia 1 sampai 2 tahun kemudian kehilangan kemampuan yang sebelumnya telah dikuasai dengan baik.
• Anak berkembang normal dalam usia 2 tahun pertama(seperti : kemampuan kominukasi, sosial, bermain dan perilaku), namun secara bermakna kemampuan itu terganggu sebelum usia 10 tahun, yang tergangggu diantaranya adalah kemampuan :BahasaKemampuan sosialKemampuan buang air besar dan buang air kecil di toiletBermainKemampuan motorik
• Gejala tambahan, menunjukkan fungus abnormal sedikitnya dua hal dari :Interaksi sosial
• Komunikasi Pola perilaku terbatas : perhatian dan aktifitas
SINDROM ASPERGER’S
• Asperger’s Syndrome gejala khas yang timbul adalah gangguan intteraksi sosial ditambah gejala keterbatasan dan pengulangan perilaku, ketertarikan dan aktifitasis.
• Mempunyai gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, sedikitnya dua gejala dari itandai dengan gangguan penggunaan beberapa komunikasi non verbal (mata, pandangan, ekspresi wajah, sikap bada, gerak isyarat)
• Tidak bisa bermain dengan anak sebayaGangguan dalam menikmati minat atau keberhasilankurangnya hubungan sosial dan emosional
GANGGUAN PERKEMBANGAN PERVASIF (Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified / PDD-NOS)
• Biasa disebut Autis yang tidak umum dimana diagnosis PDD-NOS dapat dilakukan jika anak tidak memenuhi kriteria diagnosis yang ada (DSM-IV) akan tetapi terdapat ketidakmampuan pada beberapa perilakunya.
GANGGUAN PERVASIVE PADA ANAK
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:
• interaksi sosial,
• komunikasi (bahasa dan bicara),
• perilaku-emosi,
• pola bermain,
• gangguan sensorik dan motorik
• perkembangan terlambat atau tidak normal.
Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.
Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Perpasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:
1. Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
2. Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
3. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
4. Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Diagnosa Perpasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifat neurologis yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autisme.
Diagnosa Autisme Sesuai DSM IV
A. Interaksi Sosial (minimal 2):
1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
2. Kesulitan bermain dengan teman sebaya
3. Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
4. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah
B. Komunikasi Sosial (minimal 1):
1. Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
2. Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
3. Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
4. Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social
C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):
1. Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
2. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
3. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda
Seorang anak penderita autisme, dengan jajaran mainan yang ia buat
Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.
Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Perpasive Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
• Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
• The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
• The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
• The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan membutuhkan observasi yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.
Gejala
Anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak ‘berbicara’ sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.
Prevalensi Individu dengan autisme
Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 80 – an, bayi-bayi yang lahir di California – AS, diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis. National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD. Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura pada tanggal 26 – 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:
• Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different families
• Chromosome 7 – speech / language chromosome
• Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth
Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui atau bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu dicatat melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena orang tua tidak menginginkan anak ketika hamil.
Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak” (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?
Implikasi Diagnosa Autisme
Secara historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika para ahli dan peneliti dalam bidang autisme bersandarkan pada ada atau tidaknya gejala, saat ini para ahli dan peneliti tampaknya berpindah menuju berbagai karakteristik yang disebut sebagai continuum autism. Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya descriptive approach to diagnosis. Ini adalah suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa sehingga menyertakan observasi-observasi yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas diantara teman-teman sebaya mereka yang ‘normal’.
Persoalan lain yang mempengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low functioning atau dianggap sebagai high functioning. Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan konsistensi untuk dalam penanganannya sehingga perlu disadari bahwa bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada pada diri anak. Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme yang mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya: Temple Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang sistematis sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan, Donna William yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa yang mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi seorang pemuda yang aktif dan tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat menjadi sumber inspirasi kita bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat dikatakan berguna bila mampu memberikan petunjuk bagi para orang tua dan pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang anak. Label yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan pendidik jelas tidak akan membawa manfaat apapun.
Perkembangan Penelitian Autisme
Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations (Rimland, 1964). Namun demikian model psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan (Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:
• Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
• Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
• Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
• Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.
Hingga saat ini terdapat banyak program intervensi perilaku bagi anak dengan autisme, setiap program memiliki berbagai variasi dan pengembangan-pengembangan sendiri sesuai dengan penelitian-penelitan dilakukan. Perkembangan studi mengenai autisme kemudian disampaikan oleh Rogers, Sally J., sebagaimana disebutkan di bawah ini:
• 1960s Heavy emphasis on causes of autism, correlates of autism
• 1970s Heavy emphasis on assessment, diagnosis: emerging literature on treatment
• 1980s Heavy emphasis on functional assessment and treatment, school-based services
• 1990s Heavy emphasis on social interventions, assessment, school-based services
• 2000s Litigation, school-based services
Penanganan Autisme di Indonesia
Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia diantaranya adalah:
1. viking & bonek layak masuk ke terapi autis.
1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.
Terapi Bagi Individu dengan Autisme
Bila ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif? Maka jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks, bahkan para orang tua dari anak-anak dengan autisme pun merasa bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya treatment dan proses pendidikan yang ditawarkan bagi anak mereka. Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
• Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
• Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
• TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
• Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
• Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
• Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
• Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
• Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), Sensory Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration Training (AIT).
Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengkontrol semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak akurat.
Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.
KREATIVITAS PADA ANAK AUTISME dan ADHD (Attention Defisit and Hyperactivity Disorder)
(Anak ADHD Yang Memiliki Kreativitas
Dalam Bidang Musik)
Anak adalah titipan Tuhan Bagi setiap orang, makna memiliki seorang anak adalah hal yang tidak tergantikan dengan harta apapun di dunia ini. Setiap orangtua selalu berdoa dan berharap agar memiliki seorang anak yang sehat, baik secara fisik maupun sehat secara psikologis. Oleh karrena itu seorang ibu akan selalu menjaga si anak tersebut sejak ia masih berada dalam kandungan hingga ia lahir dan bahkan hingga ia memasuki masa-masa peralihan dari usia remaja ke masa dewasa (Hurlock, 1998).
Namun, tidak semua orangtua memiliki harapan yang sesuai dengan kenyataan yang ada. Bahkan ada beberapa orang tua yang harus ikhlas dan menerima seorang nak anak ketika anak tersebut tumbuh dalam kondisi dan skeadaan fisik ataupun kondisi psikologis yang tidak normal. Salah satunya adalah memiliki anak yang menderita gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (ADHD).
Hiperaktif adalah suatu kondisi dimana anak tidak bisa diam untuk beberapa waktu sekalipun atau mempunyai taraf aktivitas berlebihan. Anak hiperaktif adalah anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian dengan hiperaktifitas (GPPH) atau attention definit and hyperactivity disorder (ADHD), kondisi ini disebut juga gangguan kinetik (dahulu minimal brain disfungsion syndrome).
Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (GPPH) atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) sebenarnya sudah dikenal lama oleh masyarakat, tetapi dengan istilah yang berbeda. Sejarah gangguan ADHD/GPPH telah mendapatkan berbagai label, mencerminkan berbagai pandangan tentang penyebab (etiologi) nya. Apabila melihat terminologinya, kita dapat mengelompokannya menjadi dua. Kelompok pertama, dengan istilah “Minimal Brain Damage” dan “Minimal Brain Dysfunction”; mencerminkan gagasan mengenai asumsi tentang penyebab (etiologi) gangguan, dan kedua, dengan terminologi seperti “Hyperkinetik Reactions of Childhood”.”Hyperkinetik Child Sydrome”, dan “Attention Deficit Hyperactivity Disorder”; menggambarkan tingkah laku yang dilihat dalam gangguan ini. (DeClerq dalam Mulyono , 2003).
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperativitas (GPPH) atau Attension Definit Hyperactivity Disorder (ADHD), yang sering disebut hanya dengan hiperaktivitas (Hyperactivity), digunakan untuk menyatakan suatu pola perilaku pada seseorang yang menunjukan sikap tidak mau diam, tidak menaruh perhatian dan impulsif (semaunya sendiri). Anak-anak yang hiperaktif selalu bergerak. Mereka tidak mau diam, bahkan dalam berbagai situasi, misalnya ketika sedang mengikuti pelajaran dikelas yang menuntut agar mereka bersikap tenang. Mereka tidak pernah merasakan asyiknya permainan atau mainan pada umumnya disukai anak-anak seusia mereka, sebentar-sebentar mereka tergerak untuk beralih dari permainan atau mainan yang satu ke yang lain. Ini mengandung arti bahwa dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan mereka cenderung tidak memperoleh kepuasan sebanyak yang dikehendaki. (Taylor, 1998).
Hiperaktif pada anak merupakan gangguan tingkah laku, yaitu bereaksi lebih cepat terhadap suatu rangsangan dan timbul kelelahan akan lebih lambat dibandingkan dengan anak-anak yang normal (Osman, 2002).
Sebuah kondisi hiperkatif, tidak dapat diketahui secara langsung sejak individu lahir. Pada umumnya gejala-gejala hiperaktif (ADHD) baru muncul atau terlihat ketika ia memasuki usia 1 tahun. Dan perilaku hiperaktif yang munculpun belum dapat dikategorikan sebagai perilaku hiperaktif (ADHD), karena untuk memastikannya diperlukan pemeriksaan, observasi lebih lanjut lagi oleh seorang ahli (Psikolog Anak) (Siswadi, 2004).
Disnilah peran aktif orang tua untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai gejala-gejala atau semua hal yang berkaitan dengan hiperkatif ataupun gangguan pemusatan perhatian (ADHD). Sehingga anak yang memiliki gejala awal hiperaktif dapat diberikan penanganan lebih awal lagi oleh ahli yang terkait.
Simanjutak dan Pasaribu (1984) menjelaskan beberapa ciri umum seorang anak apat dikategorikan mengalami gangguan hiperaktivitas dan sikap kurang memperhatikan (Impulsiviness), antara lain : suka memainkan tangan atau kaki mengeliat-geliat ditempat duduk, meninggalkan tempat duduk dikelas atau meninggalkan meja makan atau kapan pun saat ia diharuskan duduk tenang, suka berjalan-jalan atau naik-naik dalam situasi diman perilaku itu tidak tepat, terus menerus “sibuk” atau perilaku seakan-akan “digerakan oleh tenaga motor”, bicara tanpa henti, menjawab pertanyan tanpa berfikir sebelum pertanyaan tersebut selesai, mengalami kesulitan untuk menunggu giliran dalam permainan atau kegiatan yang terstruktur lain, enggangu orang lain (mengganggu pembicaraan atau permainan).
Eisenberg (dalam simanjuntak & Pasaribu, 1984) mengemukakan beberapa ciri-ciri anak hiperaktif yang terbagi menjadi 2 yaitu :
a. Segi motorik
Anak tersebut selalu bergerak, tidak dapat duduk tenang dengan sesaat, anggota badannya selalu bergerak, meraba sesutu yang terlihat olehnya. Dalam kelompoknya anak hiperaktif selalu menarik perhatian karena menunjukan aktivitas yang berlebihan.
b. Segi sensori
Anak hiperaktif mempunyai perhatian yang kurang, dan mudah dialihkan. Anak hiperaktif seolah-olah tidak pernah menghiraukan isyarat dan teguran yang diberiakan padanya. Perhatiannya tearah dari satu objek keobjek yang lain yang disenanginya atau anak tersebut mempunyai short attention span (perhatian pada suatu objek/ objek hanya berlangsung untuk waktu yang singkat).
Gejala-gejala tersebut biasanya berlangsung secara konstan dan bersifat konsisten, sehingga hal ini benar-benar dapat mengganggu kehidupan keseharian anak tersebut. Dampak yang diakibakan dari gangguan ini antar lain : anak menjadi terhambat dalam proses berpir dan proses belajar, karena ia memiliki gangguan pemusatan perhatian, yang membuat ia tidak fokus pada pelajaran apapun yang diberikan oleh orang tuanya ataupun oleh gurunya (Osman, 2002).
Andres (dalam Rahmat, 2003) menjelaskan bahwa banyak faktor yang dicurigai sebagai faktor resiko timbulnya gangguan tingkah laku pada anak-anak penderita ADHD. Faktor-faktor resiko tersebut dapat dikelompokan sebagai berikut (): Faktor Resiko biologis, yang terdiri dari adanya kehamilan yang terganggu, prematuritas, berat badan lahir rendah, trauma persalinan, asfiksia, serta pola penyakit keluarga. Faktor resiko psikososial, mencakup antara lain : keintiman keluarga termasuk ekspresi emosi, status anak dalam kelurga, serta kepadatan hunian atau banyaknya jumlah anggota keluarga.
Berdasarkan penyebabnya, hiperaktif dibedakan dalan dua kelompok, yaitu faktor psikis dan fisik. Dari pemeriksaan fisik (neurolog), umumnya ditemukan bahwa, pada anak penderita hiperaktif tampak terjadi abnormalitas aktivitas otak. Data lain, seperti pematangan awal kelenjar-kelenjar tubuh, serta kerusakan atau terjadinya gangguan sistem saraf. Dari sisi psikologisnya, terjadinya tingkah laku hiperaktif lebih dipengaruhi oleh kurangnya perhatian atau cinta kasih orang tua. Akibatnya, jiwa anak mengalami kekosongan belaian kasih, sebagai kompensasi atas kondisi tersebut anak mencoba mencari pemuasan diri melalui objek lain atau tindakan untuk menggantikannya. (Robinson dalam Rahmat, 2003).
Suryana (2004), berpendapat bahwa faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi hiperaktif antara lain adalah :
a. Permisif (pemanjaan)
Pemanjaan dapat juga disamakan dengan memperlakukan anak secara manis, membujuk-bujuk makan, membiarkan saja, memenuhi keinginan dan kebutuhanya, dan sebagainya. Biasanya anak yang dimanja diberikan pengarahan yang kurang dan sulit bergaul dengan teman sebayanya karena ingin menang sendiri,tidak punya tanggung jawab, berbuat sesuka hatinya , serta sering membantah.
b. Kurang disiplin dan pengawasan
Anak yang kurang disiplin atau pengawasan ini akan berbuat sesuka hati, sebab perilakunya kurang dibatasi. Dan apa yang dilakukan oleh anak tersebut dibiarkan begitu saja tanpa ada perhatian dari orang tua.
c. Orientasi kesenangan
Anak yang memiliki kepribadian yang berorientasi pada kesenangan umumnya memiliki ciri-ciri hiperaktif secar sosio-psikologis dan harus dididik agak berbeda sehingga mau untuk mendengarkan dan menyesuaikan diri, serta ingin memuaskan kebutuhan kebutuhan atau keinginanya sendiri.
Berdasarkan penyebabnya, hiperaktif dibedakan dalan dua kelompok, yaitu faktor psikis dan fisik. Dari pemeriksaan fisik (neurolog), umumnya ditemukan bahwa, pada anak penderita hiperaktif tampak terjadi abnormalitas aktivitas otak. Data lain, seperti pematangan awal kelenjar-kelenjar tubuh, serta kerusakan atau terjadinya gangguan sistem saraf. Dari sisi psikologisnya, terjadinya tingkah laku hiperaktif lebih dipengaruhi oleh kurangnya perhatian atau cinta kasih orang tua. Akibatnya, jiwa anak mengalami kekosongan belaian kasih, sebagai kompensasi atas kondisi tersebut anak mencoba mencari pemuasan diri melalui objek lain atau tindakan untuk menggantikannya. (Robinson dalam Rahmat, 2003).
Terlepas dari segala kekurangan yang dimiliki oleh anak yang menderita gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif (ADHD), ternyata juga terdapat hal-hal positif yang dapat kita temukan pada anak-anak penderita Hiperaktif tersebut. Ada beberapa anak-anak penderita ADHD, ternyata memiliki bakat dan kemampuan khusus dalam suatu bidang tertentu. Misalnya, bermusik, olah raga dan sebagainya. Dalam penelitian ini peneliti lebih memfokuskan pada bakat dan kreativitas dalam hal bermusik.
Ada beberapa anak penderita ADHD yang terdapat di beberapa klinik dan sekolah khusus, memiliki bakat-bakat tertentu dalam berbagai bidang tertentu. Sekolah ini dibangun khusus untuk mengasah dan mengembangkan bakat-bakat tersembunyi yang dimiliki oleh anak yang menderita ADHD tersebut. Dengan harapan kreativitas dan kemampuan tersebut dapat meminimalisir perilaku hiperaktif yang sering muncul pada anak tersebut (Simanjutak dan Pasaribu, 1984).
Menurut Haris & Liebert (1987), seorang anak penderita ADHD biasanya memiliki minat pada satu aktivitas tertentu. Aktivitas tersebut nerupakan aktivitas yang paling sering ia lakukan dan paling sering kita lihat. Contohnya, anak tersebut sering terlihat memainkan bola tanpa lelah dan kenal waktu, anak tersebut sering juga terlihat memainkan alat musik tertentu (seruling, drum), dan sebagainya. Hal tersebut membuktikan bahwa, mereka juga memiliki minat dan bakat-bakat tertentu yang terpendam.
Lebih lanjut lagi Haris & Liebert (1987) menjelaskan bahwa, orang tua dan kalangan pendidik harus cermat dan lebih teliti lagi untuk mengenali minat dan bakat-bakat terpendam tersebut. Yang nantinya orang tua/pendidik bertindak sebagai pembimbing, mengarahkan serta memberikan fasilitas untuk menunjang dan mengasah minat dan bakat terpendam tersebut, yang tentu saja dibantu oleh seorang ahli (psikolog anak/dokter anak).
Osman (2002), menemukan bahwa penanganan yang tepat terhadap anak penderita ADHD, akan mampu meminimalisir dan mengurangi perilaku hiperaktif yang ada pada anak tersebut. Karena secara langsung mereka diarahkan untuk bisa fokus pada satu atau beberapa bidang tertentu dan aktivitas tertentu.
Osman (2002) juga menemukan bahwa anak-anak penderita ADHD yang memiliki bakat-bakat khusus, ternyata berprestasi dalam bidang yang digelutinya. Hal ini disebabkan karena mereka memang terfokus untuk melatih dan mengembangkan bakat dan keahlian tersebut. Sehingga tidak heran jika anak tersebut menjadi anak yang mahir dan bahkan memiliki bakat yang melebihi anak normal pada umumnya.
Definisi Childhood Disintegrative Disorder....
Disintegratif masa kanak-kanak disorder (CDD), juga dikenal sebagai sindrom Heller dan disintegratif psikosis, adalah suatu kondisi yang ditandai oleh langka akhir awal (> 3 tahun) keterlambatan perkembangan bahasa, fungsi sosial, dan keterampilan motorik. ..Para.. peneliti belum berhasil menemukan penyebab gangguan ini.
CDD memiliki beberapa kesamaan dengan autism, dan kadang-kadang dianggap sebagai bentuk fungsi rendah itu, tapi yang jelas cukup periode perkembangan normal sering dicatat sebelum regresi keterampilan atau serangkaian regresi keterampilan. Banyak anak yang sudah agak tertunda ketika penyakit menjadi jelas, tetapi penundaan ini tidak selalu jelas pada anak-anak. Usia di mana regresi ini dapat terjadi bervariasi, dan dapat dari usia 2-10 dengan definisi ini sebagian besar tergantung pada pendapat masing-masing.
Regresi dapat sangat mendadak, dan anak bahkan mungkin anak shock dengan apa yang terjadi, dan banyak orang tua terkejut. Beberapa anak menunjukan reaksi terhadap halusinasi, tetapi gejala yang paling jelas adalah bahwa anak tersebut kehilangan keterampilannaya. Hal ini telah di paparkan oleh banyak penulis sebagai suatu kondisi yang menghancurkan, mempengaruhi berbagai pihak baik keluarga dan masa depan individu anak tersebut. Seperti halnya dengan semua kategori gangguan perkembangan, terdapat banyak kontroversi tentang perawatan yang tepat untuk CDD. ....
1. Sejarah Childhood Disintegrative Disorder (CDD)....
Sindrom ini awalnya digambarkan oleh Theodore pendidik Austria Heller pada tahun 1908, 35 tahun sebelum Leo Kanner menjelaskan autisme, tapi belum secara resmi diakui sampai saat ini. Heller menggunakan nama demensia infantilis untuk sindrom.. Ini adalah kelainan kompleks yang mempengaruhi banyak wilayah yang berbeda dari perkembangan anak. Hal ini dikelompokkan dengan gangguan perkembangan meluas (PDDs) dan terkait dengan lebih baik dan lebih umum dikenal gangguan autism.....
CDD awalnya dianggap sebagai kelainan medis dan dipercaya sudah diidentifikasi penyebabnya adalah karena kerusakan organisme. Setelah peneliti memeriksa kasus yang dilaporkan CDD, ternyata tidak ada gangguan neurologis spesifik ditemukan sebagai penyebab CDD, untuk membuktikan terjadinya kelainan CDD. Untuk alasan itu, CDD dimasukkan dalam edisi keempat Diagnostik dan Statistik Manual. The Diagnostik dan Statistik Manual adalah karya referensi standar berkonsultasi dengan profesional kesehatan mental di Amerika Serikat dan Kanada.
2. Diagnosa Banding....
Gangguan Perkembangan Pervasif (Pervasive Developmental Disorders /PDD) terdiri dari beberapa jenis, di antaranya adalah:....
1. Autistic.....
2. Aspergers. ....
3. Retts.....
4. Childhood Disintegrative Disorder (CDD).....
5. Gangguan pervasive opada masa kanak-kanak (Pervasive Developmental Disorderor – Not Otherwise Specified /PDD-NOS).....
6. Multisystem Developmental Disorders (MSDD)....
Beberapa perbedaan antara Autis, Aspergers, Retts, Gangguan disintegratif padamasa kanak (Childhood Disintegrative Disorder/CDD), Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) dan Multisystem Developmental Disorders (MSDD) adalah:....
1. Autisme....
Ketidakmampuan dalam bersosialisasi dan berkomunikasi. Sampai dengan umur 3 tahun mempunyai daya imajinasi yang tinggi dalam bermain dan mempunyai perilaku, minat dan aktifitas yang unik (aneh). Dikategorikan sebagai ketidakmampuan dalam bersosialisasi dan mempunyai minat dan aktifitas yang terbatas tanpa adanya keterlambatan dalam kemampuan berbicara. Kecerdasannya berada pada tingkat normal atau diatas normal. Terdapat 6 gejala utama autisme, antara lain:....
1. Kegagalan untuk mengembangkan kehidupan sosial normal.....
2. Gangguan bicara, bahasa dan komunikasi.....
3. Abnormal Relationships to Objects and Events.....
4. Respon tidak normal terhadap stimulasi sensoris.....
5. Perbedaan perkembangan dan keterlambatan perkembangan dimulai dari usia bayi atau anak.....
2. Sindrom Rett's....
Sindrom Rett’s adalah penyakit degeneratif, ketidakmampuan yang semakin hari semakin parah (progresif). Hanya menimpa anak perempuan. Pertumbuhan normal lalu diikuti dengan kehilangan keahlian yang sebelumnya telah dikuasai dengan baik, khususnya kehilangan kemampuan menggunakan tangan yang kemudian berganti menjadi pergerakan tangan yang berulang ulang (seperti mencuci tangan) mulai pada umur 1 hingga 4 tahun. Gejala dapat dimulai usia 6 bulan hingga usia 18 bulan, antara lain:....
1. Pertumbuhan kepala lambat.....
2. Kehilangan kemampuan menggunakan gerakan tangan.....
3. Berkembang seperti gejala khas autisme.....
3. Gangguan Disintegratif Pada Kanak-Kanak (Childhood Disintegrative Disorder /CDD)....
Pertumbuhan yang normal pada usia 1 sampai 2 tahun kemudian kehilangan kemampuan yang sebelumnya telah dikuasai dengan baik. Anak berkembang normal dalam usia 2 tahun pertama (seperti: kemampuan komunikasi, sosial, bermain dan perilaku), namun secara bermakna kemampuan itu terganggu. Sebelum usia 10 tahun, yang tergangggu diantaranya adalah kemampuan:....
•Bahasa.....
•Kemampuan sosial. ....
•Kemampuan buang air besar dan buang air kecil di toilet.....
•Bermain.....
• Kemampuan motorik. ....
Gejala tambahan, menunjukkan fungsi abnormal sedikitnya dua hal dari : ....
•Interaksi social.....
•Komunikasi. ....
•Pola perilaku terbatas, yaitu perhatian dan aktifitas.....
4. Sindrom Asperger's....
Asperger's Syndrome gejala khas yang timbul adalah gangguan interaksi sosial ditambah gejala keterbatasan dan pengulangan perilaku, ketertarikan dan aktifitasis. Mempunyai gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, sedikitnya dua gejala dari: ....
•Ditandai dengan gangguan penggunaan beberapa komunikasi non verbal (mata, pandangan, ekspresi wajah, sikap badan dan gerak isyarat).....
• Tidak bisa bermain dengan anak sebaya.....
•Gangguan dalam menikmati minat atau keberhasilan.....
• Kurangnya hubungan sosial dan emosional.....
5. Gangguan Perkembangan Pervasif (Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified / PDD-NOS)....
Biasa disebut Autisme yang tidak umum dimana diagnosis PDD-NOS dapat dilakukan jika anak tidak memenuhi kriteria diagnosis yang ada (DSM-IV) akan tetapi terdapat ketidakmampuan pada beberapa perilakunya.....
6. Multisystem Developmental Disorders (MSDD)....
MSDD adalah diagnosis gangguan perkembangan dalam hal kesanggupannya berhubungan, berkomunikasi, bermain dan belajar. Gangguan MSDD tidak menetap seperti gangguan pada Autistic Spectrum Disorders tetapi sangat mungkin untuk terjadi perubahan dan perbaikan. Pengertian MSDD meliputi gangguan sensoris multipel dan interaksi sensorik motorik. Gejala MSDD meliputi:
1. Gangguan dalam berhubungan sosial dan emosional dengan orang tua atau pengasuh.
2. Gangguan dalam mempertahankan dan mengembangkan komunikasi
3. Gangguan dalam proses auditori....
4. Gangguan dalam proses berbagai sensorik lain atau koordinasi motorik....
By : Sarah Marlina
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar