Jumat, 09 April 2010

GANGGUAN BELAJAR : DISLEKSIA

DISLEKSIA : ISU-ISU & IMPLIKASINYA BAGI BIMBINGAN DAN KONSELING
Pengertian Disleksia
Kata disleksia diambil dari bahasa Yunani, dys yang berarti “sulit dalam …” dan lex (berasal dari legein, yang artinya berbicara). Jadi disleksia merupakan sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada anak tersebut dalam melakukan aktifitas membaca dan menulis. Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti karena ada masalah dengan penglihatan, tapi mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut. Kesulitan ini biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu (Ira Meida, 2007). Sumber: www.halalguide.info/content/view/720/70/
Menulis pada Anak Disleksia
Ketika belajar menulis, anak-anak disleksia melakukan hal-hal berikut.
1. menuliskan huruf-huruf dengan urutan yang salah dalam sebuah kata;
2. tidak menuliskan sejumlah huruf-huruf dalam kata-kata yang ingin ia tulis;
3. menambahkan huruf-huruf pada kata yang ingin ia tulis;
4. mengganti satu huruf dengan huruf lainnya, sekalipun bunyi huruf-huruf tersebut tidak sama;
5. menuliskan sederetan huruf yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan bunyi kata-kata yang ingin ia tuliskan;
6. mengabaikan tanda-tanda baca yang terdapat dalam teks-teks yang sedang ia baca.

Hasil-Hasil Riset
1. Rutter dan rekan telah menganalisis lebih dari 10.000 anak-anak di Selandia Baru yang diikutkan dalam uji membaca standar. Usia anak-anak itu berkisar antara 7-15 tahun. Disleksia ditemukan pada 18 hingga 22 persen murid lelaki. Sedangkan pada murid perempuan hanya sekitar 8-13 persen saja (Magdalena, 2003). Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2004/0716/kes1.html
2. Disleksia ditandai dengan adanya dengan kesulitan membaca pada anak maupun orang dewasa yang seharusnya menunjukkan kemampuan dan motivasi untuk membaca secara fasih & akurat. Angka penderita disleksia pada anak usia sekolah sekitar 5 sampai 17 di dunia. Kurang lebih 80 persen gangguan belajar mengalami disleksia (Rini Sekartini, 2007). Sumber: http://www.halalguide.info/content/view/720/70/
3. Pada pemeriksaan terhadap anak-anak Jerman dengan kesulitan membaca dan menulis serius, tim ilmuwan menemukan gen tertentu, yang diperkirakan berkontribusi terhadap masalah yang dihadapi anak-anak tersebut. Bagairnana gen tersebut berkontribusi? Hasilnya, belum jelas.
Diperkirakan gen tersebut mempengaruhi migrasi sel saraf di otak. Hasil temuan itu akan dipublikasikan dalam American Journal of Human Genetics edisi Januari 2006. Gen tersebut diindikasikan ilmuwan dari Amerika Serikat dan Inggris terletak di daerah koromosom 6. Tetapi kelompok peneliti Jerman dan Swedia telah mengidentiflkasikan suatu gen tunggal di daerah tersebut, yang ditemukan di antara anak-anak Jerman, yang merupakan faktor penting penyebab disleksia. Gen tunggal tersebut, menurut tim, dikenal sebagai gen DCDC2. Perubahan dalam gen DCDC2 sering kali diternukan di antara penderita disleksia. Perubahan gen kebanyakan ditemukan pada anak-anak yang memiliki masalah membaca dan menulis. Gen tersebut nampak memicu hubungan kuat dengan proses informasi berbicara saat menulis (Irfan Arief, 2007). Sumber: Sumber: http://www.pjnhk.go.id/content/view/370/32/
4. Ferrei & Winwright (1984; Le Fanu, 2006) berpendapat bahwa permasalahan gangguan dalam belajar disebabkan oleh adanya ketidakcocokkan antara sphenoid dan tulang rawan pada otak. Ketidakcocokkan ini diduga berpengaruh terhadap cara kerja syaraf-syaraf yang mempengaruhi kerja otot-otot mata. Tetapi ternyata mereka tidak berhasil menemukan perbedaan apapun.
5. Pada tahun 1980 Irlen (Le Fanu, 2006) menemukan bahwa orang-orang disleksia mengalami gangguan serius pada indera penglihatan yang menyebabkan matanya mengalami kesulitan ketika harus menyesuaikan cahaya dari sumber-sumber tertentu, dengan tingkat kekontrasan tertentu. Kemampuan untuk menyesuaikan variasi-variasi cahaya disebut sebagai scotopic adaptation. Tetapi, hipotesisi Irlen ini tidak mempunyai memiliki basis riset yang kuat dan terpercaya.
6. Alfred Tomatis & Guy Berard (Le Fanu, 2006) mencoba mengungkap riset melalui auditory processing problems atau membedakan antara bagian-bagian kalimat yang terucap dengan suara-suara lain yang menjadi latar belakang dari dialog ketika kalimat-kalimat tersebut diucapkan. Hasilnya, tidak ada teori yang mendukung maupun yang menolaknya.
7. Jean Ayres (1972; Le Fanu, 2006) menegaskan bahwa disleksia disebabkan oleh adanya gangguan pada system vestibular. Vestibular merupakan bagian dalam telinga menjadi alat detektor posisi kepala terhadap gravitasi bumi dan menstransmisikan informasi ini ke dalam otak. Kemudian vestibular ini dikaitkan dengan indera penglihatan dan menyatakan bahwa gangguan dalam membaca disebabkan oleh lemahnya ‘integrasi sensorik’.
8. Palatajko (1985; Le Fanu, 2006) membuktikan bahwa gangguan dalam membaca dan gangguan vestibular merupakan dua keadaan yang terpisah dan tidak memiliki keterkaitan satu sama lain.
9. Sedangkan Levinson (Le Fanu, 2006) menegaskan adanya korelasi antara fungsi vestibular, cerebellum dan disleksia. Kemudian peneliti lain mengkritik tajam karena penelitian yang ia lakukan tidaklah memadai dan terlalu bias.
10. Glenn Doman (1960; Le Fanu 2006) berpendapat bahwa gangguan-gangguan dalam belajar terjadi karena seorang anak dalam perkembangan fungsi gerak pada organ tubuhnya tidak berada dalam urutan yang normal. Gangguan yang berkaitan dengan hal tersebut akan mempengaruhi perkembangan otak dan sistem saraf dan selanjutnya menyebabkan gangguan dalam membaca. Tidak ada riset lain yang menunjang teori ini bahkan mendapat kritikan tajam dalam jurnal-jurnal kesehatan.
11. Tidak satu pun teori-teori alternatif yang berusaha menjelaskan penyebab disleksia ini didukung oleh bukti-bukti ilmiah, tetapi teori-teori ini tetap beredar dengan bebas (Le Fanu, 2006:75).
Faktor Penyebab
Faktor penyebab disleksia disinyalir melalui:
1. Faktor keturunan
2. Memiliki masalah pendengaran sejak usia dini
3. Faktor kombinasi kedua faktor di atas
Ada dua faktor lingkungan lingkungan yang telah dikaji pengaruhnya terhadap gangguan belajar pada anak, yaitu timbal dan cahaya udara. Bagaimana dengan lingkungan sekolah? Para peneliti telah mempelajari tiga faktor secara khusus, yaitu: ruangan kelas yang terbuka, pencahayaan dan kualitas udara. Sekalipun demikian, sampai saat ini belum ada riset yang memiliki bukti kuat yang membenarkan faktor pencahayaan atau pemasangan generator ion di dalam kelas benar-benar bisa mempengaruhi prestasi belajar siswa (Le Fanu, 2006).
Sebuah Pengalaman Mengintervensi Penderita Disleksia
Dalam prakteknya, Le Fanu (2006: 93-95) melakukan serangkaian tahapan sebagai berikut.
1. mengumpulkan data mengenai intelegensi dan kepribadian;
2. mengelaborasi lebih jauh pertanyaan-pertanyaan seputar kemungkinan bahwa anak pernah mengalami keterlambatan-keterlambatan perkembangan ketika masih kanak-kanak yang mana hal ini akan berpengaruh terhadap prestasi sekolah sang anak;
3. menguji kemampuan membaca anak untuk mengetahui pada tingkat berapa sebenarnya ia berada;
4. memberikan tes matematika tertulis. Jika permasalahannya pada membaca soal, tidak terhadap materi dan isi soal matematika itu, berarti ia mengalami gangguan dalam membaca;
5. melihat catatan dan laporan dari pihak sekolah. Ketika setiap mata pelajaran yang melibatkan kemampuan membaca secara individu, bukan lagi membaca dalam sebuah kelompok atau lainnya, penderita disleksia mulai mengalami kesulitan menyelesaikan pekerjaannya;
6. menemukan kemungkinan riwayat keluarga si anak. Bisa jadi ada kaitannya dengan faktor keturunan;
7. mengetahui lebih jauh mengenai kapasitas anak dalam memberikan perhatian kepada aktivitas-aktivitas yang ia senangi, seperti hobi seni, kerajinan tangan, dan game.
Pemberian Bantuan
Cara yang paling sederhana dan efektif untuk membantu anak-anak yang mengalami gangguan disleksia adalah dengan memberikan pelajaran membaca dengan menggunakan metode phonic. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gittelman & Feingold (1983; Le Fanu, 2006). Gittelman & Feingold memberikan kesimpulan sebagai berikut.
1. Intervensi terhadap pelajaran membaca dalam bentuk phonic benar-benar terbukti membantu anak-anak yang memiliki masalah dengan membaca.
2. Empat bulan bukanlah waktu yang terlalu panjang untuk menangani permasalahan membaca yang mereka kerjakan secara tuntas.
3. Kemajuan terjadi pada akhir perlakuan.
4. Tes-tes yang dimaksudkan untuk mengetahui jenis-jenis tertentu dari permasalahan membaca tidaklah diperlukan.
Cara yang Dilakukan oleh Orang Tua
Orang tua dapat melakukan program phonic di rumah dengan cara-cara sebagai berikut.
1. cobalah membuat jadwal harian untuk membiasakannya membaca.
2. istirahatlah barang sejenak apabila anak Anda terlihat kelelahan, lapar atau mulai jenuh.
3. jangan memberikan pelajaran terlalu lama dan banyak ketika baru pertama kali melakukannya.
4. buatlah target-target yang ingin dicapai.
5. beri reward & punishment pada anak setiap melakukan kemajuan dan kesalahan.
6. buat kesan pada kata-kata yang ada dalam cerita ketika dibacakan, anak tidak berarti harus mengulang kata.
7. mulailah dengan membaca beberapa halaman atau paragraf pertama dari sebuah cerita dengan suara keras agar anak Anda terpancing untuk menyimak.
8. buatlah aktivitas-aktivitas yang variatif dengan memberikan beberapa sesi untuk mengerjakan permainan-permainan huruf di samping aktivitas membaca.
9. jadikan sesi ini sebagai pengganti sesi membaca denga suara keras di hadapan anak Anda.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, pendekatan yang paling baik adalah dengan menggunakan guru kelas regular untuk anak-anak tersebut. Namun, apabila masih kesulitan, guru tersebut bisa dibantu oleh seorang spesialis, yang akan memberikan pelajaran membaca berikut penjelasan phonic.
Intervensi Ahli (Konselor & Psikolog)
Konselor atau psikolog bisa memberikan terapi apabuila anak penderita disleksia mengalami hal-hal berikut ini.
1. Stress karena takut belajar membaca.
2. permasalahan membaca pada anak tersebut memancing terjadinya konflik dalam sebuah keluarga, atau apabila sang anak merasa terisolir dari lingkungan pergaulannya dikarenakan permasalahan membaca yang mereka alami

DISLEKSIA
Faktor-faktor yang mempengaruhi:

Penelitian John Bradford (1999) di Amerika menemukan indikasi, bahwa 80% dari seluruh subjek yang diteliti oleh lembaganya mempunyai sejarah atau latar belakang anggota keluarga yang mengalami learning disabilities, dan 60% di antaranya punya anggota keluarga yang kidal. Tim peneliti Jerman dan Swedia menernukan gen DCDC2 di daerah koromosom 6. Diduga, faktor penting penyebab disleksia, karena mempengaruhi migrasi sel saraf pada otak Selama beberapa tahun, psikolog anak dan remaja di Universitas Marburg dan Wurzburg mencari keluarga dengan keluarga (setidaknya satu orang anak) yang mengalami disleksia. "Kemudian kami menganalisa sampel darah yang diambil dari keluarga-keluarga tersebut untuk mengidentifikasikan gen kandidat, dan kami menemukannya," kata Dr. Gerd Schulte Korne, yang mengepalai penelitian ini.
Gen tersebut diindikasikan ilmuwan dari Amerika Serikat dan Inggris terletak di daerah koromosom 6. Tetapi kelompok peneliti Jerman dan Swedia telah mengidentiflkasikan suatu gen tunggal di daerah tersebut, yang ditemukan di antara anak-anak Jerman, yang merupakan faktor penting penyebab disleksia. Gen tunggal tersebut, menurut tim, dikenal sebagai gen DCDC2. "Nampaknya gen ini mempengaruhi migrasi sel saraf pada otak yang sedang berkembang," ujar Profesor Dr. Markus Nothen dari the Life and Brain Centre, Universitas Bonn, Prof, NSthen dan tim bertanggung jawab atas penelitian molekuler dalam proyek ini. Perubahan dalam gen DCDC2 sering kali ditemukan di antara penderita disleksia. Perubahan gen kebanyakan ditemukan pada anak-anak yang memiliki masalah membaca dan menulis. Gen tersebut nampak memicu hubungan kuat dengan proses informasi berbicara saat menulis.
Problem pendengaran sejak usia dini, Jika kesulitan pendengaran terjadi sejak dini dan tidak terdeteksi, maka otak yang sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi atau suara yang didengarnya dengan huruf atau kata yang dilihatnya. Padahal, perkembangan kemampuan ini sangat penting bagi perkembangan kemampuan bahasa yang akhirnya dapat menyebabkan kesulitan jangka panjang, terutama jika disleksia ini tidak segera ditindaklanjuti. Konsultasi dan penanganan dari dokter ahli amatlah diperlukan.Apabila dalam 5 tahun pertama, seorang anak sering mengalami flu dan infeksi tenggorokan, maka kondisi ini dapat mempengaruhi pendengaran dan perkembangannya dari waktu ke waktu hingga dapat menyebabkan cacat. Kondisi ini hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan intensif dan detail dari dokter ahli.
Faktor kombinasi
Faktor kombinasi ini mnyebabkan kondisi anak dengan gangguan disleksia menjadi kian serius atau parah, hingga perlu penanganan menyeluruh dan kontinyu. Bisa jadi, prosesnya berlangsung sampai anak tersebut dewasa.
Macam-macam disleksia
Menurut Yulia Ekawati Tasbita, S.Psi:
a.Disleksia Murni,
yang meliputi:
1) Disleksia visual, Disebabkan oleh gangguan memori visual (penglihatan yang berat). Anak dengan gangguan ini ditandai dengan sama sekali tidak dapat membaca huruf atau hanya dapat membaca huruf demi huruf saja. Membaca atau menulis huruf yang mirip bentuknya sering terbalik, mis : b dengan p, p dengan q.
2) Disleksia auditorik, Disebabkan gangguan pada lintasan visual (pengelihatan) - auditorik (pendengaran), dalam hal ini bentuk-bentuk tulisan secara visual tidak mampu membangkitkan imajinasi bunyi atau pengucapan kata-kata apapun atau sebaliknya dimana bunyi kata tidak mampu membangkitkan bayangan huruf/kata tertulis.
b.Disleksia Tidak Murni
Sebagai akibat dari gangguan aspek bahasa (difasia). Disleksia tipe tersebut dinamakan disleksia verbal, yang ditandai dengan terganggunya kemampuan membaca secara cepat dan benar, serta kurangnya pemahaman arti yang telah dibacanya, sehingga tampak disamping kurang lancar dalam membaca, banyak tanda baca yang diabaikan begitu saja, hal ini juga sebagai isyarat bahwa sebenarnya dia kurang memahami apa yang tengah dibacanya.
Menurut dr.Endang.w.Ghozali:
a. Disleksia Primer, ada kesukaran membaca terutama dalam mngintegrasikan simbol-simbol huruf atau kata-kata, disebabkan kelainan biologis, 10 persen dari anak berintelegensi normal menderita disleksia primer, perbandingan anak laki-laki dan perempuan adalah 5:1?
b. Disleksia Sekunder, kemampuan membaca terganggu karena dipengaruhi oleh kecemasan, depresi, menolak membaca, kurang motivasi belajar, gangguan penyesuaian diri atau gangguan kepribadian. Dasar teknik membaca masih baik, tetapi kemampuan membaca tersebut digunakan secara kurang efektif karena dipengaruhi faktor emosi.
Analisis kasus
Dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa anak tersebut diduga menderita kesukaran belajar dalam bahasa tertulis (menulis dan membaca) yang disebut disleksia. Disleksia yaitu kesukaran belajar atau suatu sindrom kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu,arah,dan masa. Hal tersebut dapat dilihat ketika anak tersebut disuruh membaca huruf dan angka sang anak mengalami kesulitan.Pada dasarnya ada berbagai variasi tipe disleksia. Penemuan para ahli memperlihatkan bahwa perbedaan variasi itu begitu nyata, hingga tidak ada satu pola baku atau kriteria yang betul-betul cocok semuanya terhadap ciri-ciri seorang anak disleksia. "Misalnya, ada anak disleksia yang bermasalah dengan kemampuan mengingat jangka pendeknya, sebaliknya ada pula yang ingatannya justru baik sekali. Lalu, ada yang punya kemampuan matematis yang baik, tapi ada pula yang parah. Untuk itulah bantuan ahli (psikolog) sangat diperlukan untuk menemukan pemecahan yang tepat," anjur Rini. Sebagai gambaran, para ahli akan membantu mereka dengan menggunakan berbagai metode berikut:

* Metode multi-sensory
Dengan metode yang terintegrasi, anak akan diajarkan mengeja tidak hanya berdasarkan apa yang didengarnya lalu diucapkan kembali, tapi juga memanfaatkan kemampuan memori visual (penglihatan) serta taktil (sentuhan). Dalam prakteknya, mereka diminta menuliskan huruf-huruf di udara dan di lantai, membentuk huruf dengan lilin (plastisin), atau dengan menuliskannya besar-besar di lembaran kertas. Cara ini dilakukan untuk memungkinkan terjadinya asosiasi antara pendengaran, penglihatan dan sentuhan sehingga mempermudah otak bekerja mengingat kembali huruf-huruf.
* Membangun rasa percaya diri
Gangguan disleksia pada anak-anak sering tidak dipahami atau diketahui lingkungannya,
termasuk orang tuanya sendiri. Akibatnya, mereka cenderung dianggap bodoh dan lamban dalam belajar karena tidak bisa membaca dan menulis dengan benar seperti kebanyakan anak-anak lain. Oleh karena itu mereka sering dilecehkan, diejek atau pun mendapatkan perlakuan negatif, sementara kesulitan itu bukan disebabkan kemalasan.
Alangkah baiknya, jika orang tua dan guru peka terhadap kesulitan anak. Dari situ dapat dilakukan deteksi dini untuk mencari tahu faktor penghambat proses belajarnya. Setelah ditemukan, tentu bisa diputuskan strategi yang efektif untuk mengatasinya. Mulai dari proses pengenalan dan pemahaman fonem sederhana, hingga permainan kata dan kalimat dalam buku-buku cerita sederhana. Penguasaan anak terhadap bahan-bahan tersebut, dalam proses yang bertahap, dapat membangkitkan rasa percaya diri dan rasa amannya. Jadi, berkat usaha dan ketekunan mereka, para penyandang disleksia ini dapat juga menguasai kemampuan membaca dan menulis.
Orang tua dan guru serta pendamping lainnya mungkin melihat dan menemukan adanya kelebihan dari anak-anak seperti ini. Menurut penelitian, mereka cenderung mempunyai kelebihan dalam hal koordinasi fisik, kreativitas, dan berempati pada orang lain. Untuk membangun rasa percaya dirinya, ajaklah mereka mengevaluasi dan memahami diri sendiri, disertai kelebihan serta kekurangan yang dimiliki. Tujuannya agar mereka dapat melihat secara objektif dan tidak hanya terfokus pada kekurangannya sebagai anak dengan gangguan disleksia.
Anak-anak tersebut perlu diajak mencari dan mencatat semua kelebihan dan kekurangannya, untuk kemudian dibahas bersama satu demi satu. Misalnya, anak melihat bahwa dirinya bukan orang yang mampu menulis dan mengarang dengan baik, tapi di lain pihak ia adalah seorang pemain basket yang handal dan sekaligus perenang yang tangguh. Bisa juga, dia melihat dirinya tidak bisa mengeja dengan benar, tapi dia juga lucu, humoris dan menarik hingga banyak orang suka padanya.
Intinya, bantulah mereka menemukan keunggulan diri, agar bisa merasa bangga dan tidak pesimis terhadap hambatan yang saat ini sedang diatasi. Kalau perlu, jelaskan pada mereka figur-figur orang terkenal yang mampu mengatasi problem disleksianya dan melakukan sesuatu yang berguna untuk masyarakat.
KESIMPULAN
Anak berkesulitan belajar (LD) adalah individu yang mengalami gangguan dalam satu atau lebih proses psikologis dasar, disfungsi sistem syarat pusat, atau gangguan neurologis yang dimanifestasikan dalam kegagalan-kegagalan yang nyata dalam pemahaman dan penggunaan pendengaran, berbicara, membaca, mengeja, berpikir, menulis, berhitung, atau keterampilan sosial. Kesulitan tersebut bukan bersumber pada sebab-sebab keterbelakangan mental, gangguan emosi, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi, tetapi dapat muncul secara bersamaan. Disleksia yaitu kesukaran belajar atau suatu sindrom kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu,arah,dan masa. Hal tersebut dapat dilihat ketika anak tersebut disuruh membaca huruf dan angka sang anak mengalami kesulitan.

DISLEKSIA PADA ANAK

Disleksia ditandai dengan adanya kesulitan membaca pada anak maupun dewasa yang
seharusnya menunjukkan kemampuan dan motivasi untuk membaca secara fasih dan akurat.
Disleksia merupakan salah satu masalah tersering yang terjadi pada anak dan dewasa. angka
kejadian di dunia berkisar 5-17% pada anak usia sekolah. Disleksia adalah gangguan yang
paling sering terjadi pada masalah belajar. Kurang lebih 80% penderita gangguan belajar
mengalami disleksia.
Angka kejadian disleksia lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan dengan perempuan yaitu
berkisar 2:1 sampai 5:1. Ada juga yang mengatakan bahwa ternyata tidak terdapat perbedaan
angka kejadian antara laki-laki dan perempuan.

Deteksi dini disleksia pada anak

Kesulitan membaca yang tidak diharapkan (kesulitan membaca pada seseorang yang tidak
sesuai dengan kemampuan kognitif orang tersebut atau tidak sesuai dengan usia, tingkat
kepandaian dan tingkat pendidikan), selain itu terdapat masalah yang berhubungan dengan
proses fonologik.
Pada anak usia prasekolah, adanya riwayat keterlambatan berbahasa atau tidak tampaknya
bunyi dari suatu kata (kesulitan bermain kata-kata yang berirama, kebingungan dalam
menghadapi kata-kata yang mirip, kesulitan belajar mengenal huruf) disertai dengan adanya
riwayat keluarga yang menderita disleksia, menunjukkan faktor risiko yang bermakna untuk
menderita disleksia.
Pada anak usia sekolah biasanya keluhan berupa kurangnya tampilan di sekolah tetapi sering
orangtua dan guru tidak menyadari bahwa anak tersebut mengalami kesulitan membaca.
Biasanya anak akan terlihat terlambat berbicara, tidak belajar huruf di taman kanak-kanak dan
tidak belajar membaca pada sekolah dasar. Anak tersebut akan makin tertinggal dalam hal
pelajaran sedangkan guru dan orangtua biasanya makin heran mengapa anak dengan tingkat
kepandaian yang baik mengalami kesulitan membaca.
Walaupun anak telah diajarkan secara khusus, biasanya anak tersebut akan dapat membaca
tetapi lebih lambat. Anak tidak akan fasih membaca dan tidak dapat mengenali huruf secara
tepat. Disgrafia biasanya menyertai disleksia. Selain itu penderita disleksia akan mengalami
gangguan kepercayaan diri.

Penilaian membaca

Membaca dinilai berdasarkan analisis, kefasihan dan pemahaman. Tes yang dapat digunakan
untuk menilai fonologi anak adalah Comprehensive Test of Phonological (CTOPP). Tes ini
mencakup kepekaan fonologik, analisa fonologik dan menghapal. Tes ini telah distandarisasi di

Disleksia Pada Anak
Amerika Serikat untuk anak usia 5 tahun sampai dewasa.
Pada anak usia sekolah salah satu tes yang penting adalah menilai apakah anak tersebut dapat
menganalisis kata. Tes yang digunakan adalah Woodcock-Johnson III dan Woodcock Reading
Mastery Test. Kefasihan berbicara dinilai dengan Gary Oral Reading Test. Untuk menilai
kecepatan membaca suatu kata digunakan Test of World Reading Efficiency (TOWRE).
Sebagai uji tapis bagi para dokter, disarankan untuk mendengarkan dengan seksama saat anak
membaca yang sesuai dengan usianya.

Pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan fisis memiliki peran yang sangat terbatas dalam mendiagnosis disleksia.
Gangguan sensori primer harus disingkirkan. Pemeriksaan neurologik pada penderita disleksia
biasanya normal.
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologis, elektroensefalografi dan analisis
kromosom hanya dilakukan jika terdapat indikasi klinis. Pada kasus tertentu, pemeriksaan
genetik harus dilakukan jika terdapat indikasi klinis. Pada kasus tertentu, pemeriksaan genetik
harus dilakukan mengingat terdapat kelainan genetik seperti sindrom Klinefelter yang
berhubungan dengan kesulitan bahasa dan mambaca

SULIT MEMBACA BISA JADI DISLEKSIA
Ketidakmampuan membaca pada anak sering digeneralisir sebagai kelemahan intelegensi. Padahal, bisa jadi ia mengalami disleksia.
Disleksia atau gangguan berupa kesulitan membaca, menurut Jacinta F. Rini, M.Psi, dari Hermawan Consulting, pada dasarnya disebabkan kelainan neurologis. Gejalanya, kemampuan membaca si anak berada di bawah kemampuan yang semestinya dengan mempertimbangkan tingkat intelegensi, usia dan pendidikannya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh John Bradford (pendiri Direct Learning, sebuah lembaga pengembangan program untuk Learning Disabilities di Amerika), disleksia lebih banyak diderita pria daripada wanita.
Rini melanjutkan, "Gangguan ini bukanlah bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti kesulitan visual. Ia lebih mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut."
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
Meski belum ada yang dapat memastikan penyebab disleksia ini, penelitian-penelitian menyimpulkan adanya 3 faktor penyebab, yaitu;
* Faktor keturunan
Disleksia cenderung terdapat pada keluarga yang mempunyai anggota kidal. Orang tua yang disleksia tidak secara otomatis menurunkan gangguan ini kepada anak-anaknya, atau anak kidal pasti disleksia. Penelitian John Bradford (1999) di Amerika menemukan indikasi, bahwa 80 persen dari seluruh subjek yang diteliti oleh lembaganya mempunyai sejarah atau latar belakang anggota keluarga yang mengalami learning disabilities, dan 60% di antaranya punya anggota keluarga yang kidal.
* Problem pendengaran sejak usia dini
Apabila dalam 5 tahun pertama, seorang anak sering mengalami flu dan infeksi tenggorokan, maka kondisi ini dapat mempengaruhi pendengaran dan perkembangannya dari waktu ke waktu hingga dapat menyebabkan cacat. Kondisi ini hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan intensif dan detail dari dokter ahli.
Jika kesulitan pendengaran terjadi sejak dini dan tidak terdeteksi, maka otak yang sedang berkembang akan sulit menghubungkan bunyi atau suara yang didengarnya dengan huruf atau kata yang dilihatnya. Padahal, perkembangan kemampuan ini sangat penting bagi perkembangan kemampuan bahasa yang akhirnya dapat menyebabkan kesulitan jangka panjang, terutama jika disleksia ini tidak segera ditindaklanjuti. Konsultasi dan penanganan dari dokter ahli amatlah diperlukan.
* Faktor kombinasi
Ada pula kasus disleksia yang disebabkan kombinasi dari 2 faktor di atas, yaitu problem pendengaran sejak kecil dan faktor keturunan. Faktor kombinasi ini menyebabkan kondisi anak dengan gangguan disleksia menjadi kian serius atau parah, hingga perlu penanganan menyeluruh dan kontinyu. Bisa jadi, prosesnya berlangsung sampai anak tersebut dewasa.
Dengan perkembangan teknologi CT Scan, bisa dilihat bahwa perkembangan sel-sel otak penderita disleksia berbeda dari mereka yang nondisleksia. Perbedaan ini mempengaruhi perkembangan fungsi-fungsi tertentu pada otak mereka, terutama otak bagian kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis.
Selain itu, terjadi perkembangan yang tidak proporsional pada sistem magno-cellular di otak penderita disleksia. Sistem ini berhubungan dengan kemampuan melihat benda bergerak. Akibatnya, objek yang mereka lihat tampak berukuran lebih kecil. Kondisi ini menyebabkan proses membaca jadi lebih sulit karena saat itu otak harus mengenali secara cepat huruf-huruf dan sejumlah kata berbeda yang terlihat secara bersamaan oleh mata.
CARA MENGATASI
Pada dasarnya ada berbagai variasi tipe disleksia. Penemuan para ahli memperlihatkan bahwa perbedaan variasi itu begitu nyata, hingga tidak ada satu pola baku atau kriteria yang betul-betul cocok semuanya terhadap ciri-ciri seorang anak disleksia. "Misalnya, ada anak disleksia yang bermasalah dengan kemampuan mengingat jangka pendeknya, sebaliknya ada pula yang ingatannya justru baik sekali. Lalu, ada yang punya kemampuan matematis yang baik, tapi ada pula yang parah. Untuk itulah bantuan ahli (psikolog) sangat diperlukan untuk menemukan pemecahan yang tepat," anjur Rini.
Sebagai gambaran, para ahli akan membantu mereka dengan menggunakan berbagai metode berikut:
* Metode multi-sensory
Dengan metode yang terintegrasi, anak akan diajarkan mengeja tidak hanya berdasarkan apa yang didengarnya lalu diucapkan kembali, tapi juga memanfaatkan kemampuan memori visual (penglihatan) serta taktil (sentuhan). Dalam prakteknya, mereka diminta menuliskan huruf-huruf di udara dan di lantai, membentuk huruf dengan lilin (plastisin), atau dengan menuliskannya besar-besar di lembaran kertas. Cara ini dilakukan untuk memungkinkan terjadinya asosiasi antara pendengaran, penglihatan dan sentuhan sehingga mempermudah otak bekerja mengingat kembali huruf-huruf.
* Membangun rasa percaya diri
Gangguan disleksia pada anak-anak sering tidak dipahami atau diketahui lingkungannya,
termasuk orang tuanya sendiri. Akibatnya, mereka cenderung dianggap bodoh dan lamban dalam belajar karena tidak bisa membaca dan menulis dengan benar seperti kebanyakan anak-anak lain. Oleh karena itu mereka sering dilecehkan, diejek atau pun mendapatkan perlakuan negatif, sementara kesulitan itu bukan disebabkan kemalasan.
Alangkah baiknya, jika orang tua dan guru peka terhadap kesulitan anak. Dari situ dapat dilakukan deteksi dini untuk mencari tahu faktor penghambat proses belajarnya. Setelah ditemukan, tentu bisa diputuskan strategi yang efektif untuk mengatasinya. Mulai dari proses pengenalan dan pemahaman fonem sederhana, hingga permainan kata dan kalimat dalam buku-buku cerita sederhana. Penguasaan anak terhadap bahan-bahan tersebut, dalam proses yang bertahap, dapat membangkitkan rasa percaya diri dan rasa amannya. Jadi, berkat usaha dan ketekunan mereka, para penyandang disleksia ini dapat juga menguasai kemampuan membaca dan menulis.
Orang tua dan guru serta pendamping lainnya mungkin melihat dan menemukan adanya kelebihan dari anak-anak seperti ini. Menurut penelitian, mereka cenderung mempunyai kelebihan dalam hal koordinasi fisik, kreativitas, dan berempati pada orang lain. Untuk membangun rasa percaya dirinya, ajaklah mereka mengevaluasi dan memahami diri sendiri, disertai kelebihan serta kekurangan yang dimiliki. Tujuannya agar mereka dapat melihat secara objektif dan tidak hanya terfokus pada kekurangannya sebagai anak dengan gangguan disleksia.
Anak-anak tersebut perlu diajak mencari dan mencatat semua kelebihan dan kekurangannya, untuk kemudian dibahas bersama satu demi satu. Misalnya, anak melihat bahwa dirinya bukan orang yang mampu menulis dan mengarang dengan baik, tapi di lain pihak ia adalah seorang pemain basket yang handal dan sekaligus perenang yang tangguh. Bisa juga, dia melihat dirinya tidak bisa mengeja dengan benar, tapi dia juga lucu, humoris dan menarik hingga banyak orang suka padanya.
Intinya, bantulah mereka menemukan keunggulan diri, agar bisa merasa bangga dan tidak pesimis terhadap hambatan yang saat ini sedang diatasi. Kalau perlu, jelaskan pada mereka figur-figur orang terkenal yang mampu mengatasi problem disleksianya dan melakukan sesuatu yang berguna untuk masyarakat.

Aneka Keterlambatan Yang Mengarah Ke Disleksia
Menurut Rini, peristiwa pada anak yang dapat memperkuat dugaan disleksia ini adalah:
1. Lambat bicara jika dibandingkan kebanyakan anak seusianya.
2. Lambat mengenali alfabet, angka, hari, minggu, bulan, warna, bentuk dan informasi mendasar lainnya.
3. Sulit menuliskan huruf ke dalam kesatuan kata secara benar.
4. Menunjukkan keterlambatan ataupun hambatan lain dalam proses perkembangannya.
5. Ada anggota keluarga yang juga mengalami masalah serupa, atau hampir sama.
6. Perhatian mudah teralihkan dan sulit berkonsentrasi.
7. Mengalami hambatan pendengaran.
8. Rancu dalam memahami konsep kiri¬kanan, atas-bawah, utara-selatan, timur-barat.

9. Memegang alat tulis terlalu kuat/keras
9. Rancu atau bingung dengan simbol-simbol matematis. Misalnya tanda +, -, x, :, dan sebagainya.
10. Mengalami kesulitan dalam mengatakan waktu.
11. Sulit mengikat tali sepatu.
12. Sulit menyalin tulisan yang sudah dicontohkan kepadanya.
13. Mempunyai masalah dengan kemampuan mengingat jangka pendek berkaitan dengan kata-kata maupun instruksi tertulis.
14. Sulit mengikuti lebih dari sebuah instruksi dalam satu waktu yang sama.
15. Tidak dapat menggunakan kamus atau pun buku petunjuk telepon.

Ciri-Ciri Anak Disleksia
"Gangguan disleksia biasanya baru terdeteksi setelah anak memasuki dunia sekolah untuk beberapa waktu," ujar Rini. Sebelumnya, di TK, kemampuan membaca anak tidak menjadi tuntutan, itulah mengapa gejalanya sulit diketahui sejak usia dini. Inilah ciri-cirinya:
1. Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan proporsional.
2. Kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata. Misalnya kata "saya" urutan hurufnya adalah s ¬ a ¬ y ¬ a.
3. Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi sebuah kata.
4. Sulit mengeja secara benar. Bahkan bisa jadi anak tersebut akan mengeja satu kata dengan bermacam ucapan. Walaupun kata tersebut berada di halaman buku yang sama.
5. Sulit mengeja kata atau suku kata dengan benar. Bisa terjadi anak dengan gangguan ini akan terbalik-balik membunyikan huruf, atau suku kata. Anak bingung menghadapi huruf yang mempunyai kemiripan bentuk, seperti d - b, u - n, m - n. Ia juga rancu membedakan huruf/fonem yang memiliki kemiripan bunyi, seperti v, f, th.
6. Membaca suatu kata dengan benar di satu halaman, tapi keliru di halaman lainnya.
7. Bermasalah ketika harus memahami apa yang dibaca. Ia mungkin bisa membaca dengan benar, tapi tidak mengerti apa yang dibacanya.
8. Sering terbalik-balik dalam menuliskan atau mengucapkan kata, misalnya "hal" menjadi "lah" atau "Kucing duduk di atas kursi" menjadi "Kursi duduk di atas kucing."
9. Rancu terhadap kata-kata yang singkat. Misalnya, ke, dari, dan, jadi.
10. Bingung menentukan harus menggunakan tangan yang mana untuk menulis.
11. Lupa mencantumkan huruf besar atau mencantumkannya pada tempat yang salah.
12. Lupa meletakkan titik dan tanda-tanda seperti koma, tanda seru, tanda tanya, dan tanda baca lainnya.
13. Menulis huruf dan angka dengan hasil yang kurang baik.
14. Terdapat jarak pada huruf-huruf dalam rangkaian kata. Anak dengan gangguan ini biasanya menulis dengan tidak stabil, tulisannya kadang naik dan kadang turun.
15. Menempatkan paragraf secara keliru.


Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar adalah suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai dengan hambatan-hambatan tertentu, dalam mencapai tujuan belajar. Kondisi ini ditandai kesulitan dalam tugas-tugas akademik, baik disebabkan oleh problem-problem neurologis, maupun sebab-sebab psikologis lain, sehingga prestasi belajarnya rendah, tidak sesuai dengan potensi dan usaha yang dilakukan.
Kesulitan belajar pada dasarnya suatu gejala yang nampak dalam berbagai jenis manifiestasi tingkah laku (bio-psikososial) baik secara langsung atau tidak, bersifat permanen dan berpotensi menghambat berbagai tahap belajar siswa.
Tidak seperti cacat lainnya, sebagaimanan kelumpuhan atau kebutuaan gangguan belajar (learning disorder) adalah kekurangan yang tidak tampak secara lahiriah. Ketidakmampuan dalam belajar tidak dapat dikenali dalam wujud fisik yang berbeda dengan orang normal lainnya. Kesulitan belajar adalah keterbelakangan yang mempengaruhi kemampuan individu untuk menafsirkan apa yang mereka lihat dan dengar. Kesulitan belaja juga merupakan ketidakmampuan dalam menghubungkan berbagai informasi yang berasal dari berbagai bagian otak mereka. Kelemahan ini akan tampak dalam beberapa hal, seperti kesulitan dalam berbicara dan menuliskan sesuatu, koordinasi, pengendalian diri atau perhatian. Kesulitan-kesulitan ini akan tampak ketika mereka melakukan kegiatan-kegiatan sekolah, dan menghambat proses belajar membaca, menulis, atau berhitung yang seharusnya mereka lakukan.
Kesulitan belajar dapat berlangsung dalam waktu yang lama. Bebarapa kasus memperlihatkan bahwa kesulitan ini memengaruhi banyak bagian dalam kehidupan individu, baik itu di sekolah, pekerjaan, rutinitas sehari-hari, kehidupan keluarga, atau bahkan terkadang dalam hubungan persahabatan dan bermain. Beberapa penderita menyatakan bahwa kesulitan ini berpengaruh pada kebahagiaan mereka. Sementara itu, penderita lainnya menyatakan bahwa gangguan ini mengahambat proses belajar mereka, sehingga tentu saja pada gilirannya juga akan berdampak pada aspek lain dari kehidupan mereka.
Dari sejumlah pendapat di atas, kesulitan belajar mempunyai pengertian yang luas dan terjabarkan dalam istilah-istilah, seperti:
a) Learning Disorder (ketergantungan belajar), adalah keadaan di mana proses belajar siswa terganggu, karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya siswa, yang mengalami gangguan belajar seperti ini, prestasi belajarnya tidak terganggu, akan tetapi proses belajarnya yang terlambat, oleh adanya respon-respon yang bertentangan. Dengan demikian, hasil belajar yang dicapai akan lebih rendah dari potensi yang dimiliki.
b) Learning Disabelities (ketidakmampuan belajar), adalah ketidakmampuan seorang siswa, yang mengacu kepada gejala di mana siswa tidak mampu belajar (menghindari belajar), sehingga hasil belajarnya di bawah potensi intelektualnya.
c) Learning Disfunction (ketidak_fungsian belajar), adalah gejala di mana proses belajar tidak berfungsi dengan baik, meskipun pada dasarnya tidak ada tanda-tanda subnormalitas mental, gangguan alat dria atau gangguan-gangguan psikologis yang lainnya.
d) Under Achiever (pencapaian randah), yang mengacu kepada anak-anak atau siswa yang memiliki tingkat potensi intelektual di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Terbukti, pada hasil belajar (sekolah) yang buruk.
e) Slow Learner (lambat belajar), adalah siswa yang lambat dalam proses balajarnya, sehingga membutuhkan waktu lebih lama, dibandingkan dengan anak-anak yang lain memilih taraf potensial intelektual yang sama.
 Strata Jenis Kesulitan Belajar
Mengenali kesulitan belajar jelas berbeda dengan mendiagnosis penyakit cacar air atau campak. Cacat air dan campak tergolong penyakit dengan gejala yang dapat dikenali dengan mudah. Berbeda dengan kesulitan belajar (learning disorder) yang sangat rumit dan meliputi begitu banyak kemungkinan penyebab, gejala-gejala, perawatan, serta penanganan. Kesulitan belajar yang memiliki beragam gejala ini, sangatlah sulit untuk didiagnosis dan dicari penyebab secara pasti. Hingga saat ini belum ditemukan obat atau perawatan yang sanggup menyembuhkan mereka sepenuhnya.
Faktor hereditas (genetik) dan lingkungan (environmental) siswa, sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajarnya. Artinya, potensi intelligensi, bakat, minat, motivasi, kurikulum, kualitas dan model pembelajaran guru, turut memberikan andil bagi keberhasilan anak didiknya di sekolah.

 Macam-macam Kesulitan Belajar Siswa
Tidak semua kesulitan dalam proses belajar dapat disebut learning disorder. Sebagian anak atau siswa mungkin hanya mengalami kesulitan dalam mengembangkan bakatnya. Kadang-kadang, seseorang memperlihatkan ketidak wajaran dalam perkembangan alaminya, sehingga tampak seperti penderita berkesulitan belajar, namun ternyata hanyalah keterlambatan dalam proses pendewasaan diri saja. Sebenarnya, para ahli telah menentukan kriteria-kriteria pasti dimana seseorang dapat dinyatakan sebagai penderita kesulitan belajar.
Kriteria yang harus dipenuhi sebelum seseorang dinyatakan menderita kesulitan belajar, tertuang dalam sebuah buku petunjuk yang berjudul DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder). Diagnosis yang didasarkan pada DSM umumnya dilakukan ketika individu mengajukan perlindungan asuransi kesehatan dan layanan perawatan. Wood (2005), menyebutkan kesulitan belajar dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, diantaranya:
a. Kesulitan dalam berbicara dan berbahasa
b. Permasalahan dalam hal kemampuan akademik
c. Kesulitan lainnya, yang mencakup kesulitan dalam mengordinasi gerakan anggota tubuh serta permasalahan belajar yang belum dicakup oleh kedua kategori di atas.
Masing-masing kategori itu mencakup pula kesulitan-kesulitan lainnya yang lebih spesifik, dan pada makalah ini akan dipaparkan tentang kesulitan belajar membaca (disleksia).
 Pengertian disleksia
Istilah disleksia berasal dari bahasa Yunani, yakni dys yang berarti sulit dalam dan lex berasal dari legein, yang artinya berbicara. Jadi secara harfiah, disleksia berarti kesulitan yang berhubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis. Kelainan ini disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menghubungkan antara lisan dan tertulis, atau kesulitan mengenal hubungan antara suara dan kata secara tertulis.
Bryan & Bryan (dalam Abdurrahman, 1999: 204), menyebut disleksia sebagai suatu sindroma kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat dan dalam belajar segala sesuatau yang berkenaan dengan waktu, arah dan masa. Sedangkan, menurut Lerner seperti di kutip oleh Mercer (1979: 200), mendefinisikan kesulitan belajar membaca sangat bervariasi, tetapi semuanya menunjuk pada adanya gangguan fungsi otak.
Pada kenyataannya, kesulitan membaca dialami oleh 2-8% anak sekolah dasar. Sebuah kondisi, dimana ketika anak atau siswa tidak lancar atau ragu-ragu dalam membaca; membaca tanpa irama (monoton), sulit mengeja, kekeliruan mengenal kata; penghilangan, penyisipan, pembalikan, salah ucap, pengubahan tempat, dan membaca tersentak-sentak, kesulitan memahami; tema paragraf atau cerita, banyak keliru menjawab pertanyaan yang terkait dengan bacaan; serta pola membaca yang tidak wajar pada anak.
 Karakteristik disleksia
Ada empat kelompok karakteristik kesulitan belajar membaca, yaitu kebiasaan membaca, kekeliruan mengenal kata, kekeliruan pemahaman, dan gejala-gejala serba aneka, (Mercer, 1983) .
Dalam kebiasaan membaca anak yang mengalami kesulitan belajr membaca sering tampak hal-hal yang tidak wajar, sering menampakkan ketegangannya seperti mengernyitkan kening, gelisah, irama suara meninggi, atau menggigit bibir. Mereka juga merasakan perasaan yang tidak aman dalam dirinya yang ditandai dengan perilaku menolak untuk membaca, menangis, atau melawan guru. Pada saat mereka membaca sering kali kehilangan jejak sehingga sering terjadi pengulangan atau ada barisyang terlompat tidak terbaca.
Dalam kekeliruan mengenal kata ini memcakup penghilangan, penyisipan, penggantian, pembalikan, salah ucap, perubahan tempat, tidak mengenal kata, dan tersentak-sentak ketika membaca.
Kekeliruan memahami bacaan tampak pada banyaknya kekeliruan dalam menjawab pertanyaan yang terkait dengan bacaan, tidak mampu mengurutkan cerita yang dibaca, dan tidak mampu memahami tema bacaan yang telah dibaca. Gejala serb aneka tampak seperti membaca kata demi kata, membaca dengan penuh ketegangan, dan membaca dengan penekanan yang tidak tepat.
 Gejala
Gejala disleksia, anak memiliki kemampuan membaca di bawah kemampuan yang seharusnya dilihat dari tingkat inteligensia, usia dan pendidikannya. Hal ini dikarenakan keterbatasan otak mengolah dan memproses informasi tersebut. Disleksia merupakan kesalahan pada proses kognitif anak ketika menerima informasi saat membaca buku atau tulisan.
Jika pada anak normal kemampuan membaca sudah muncul sejak usia enam atau tujuh tahun, tidak demikian halnya dengan anak disleksia. Sampai usia 12 tahun kadang mereka masih belum lancar membaca. Kesulitan ini dapat terdeteksi ketika anak memasuki bangku sekolah dasar.
Ciri-ciri disleksia:
 Sulit mengeja dengan benar. Satu kata bisa berulangkali diucapkan dengan bermacam ucapan.
 Sulit mengeja kata atau suku kata yang bentuknya serupa, misal: b-d, u-n, atau m-n.
 Ketika membaca anak sering salah melanjutkan ke paragraph berikutnya atau tidak berurutan.
 Kesulitan mengurutkan huruf-huruf dalam kata.
 Kesalahan mengeja yang dilakukan terus-menerus. Misalnya kata pelajaran diucapkan menjadi perjalanan.
Banyak faktor yang menjadi penyebab disleksia antara lain genetis, problem pendengaran sejak bayi yang tidak terdeteksi sehingga mengganggu kemampuan bahasanya, dan faktor kombinasi keduanya. Namun, disleksia bukanlah kelainan yang tidak dapat disembuhkan. Hal paling penting adalah anak disleksia harus memiliki metode belajar yang sesuai. Karena pada dasarnya setiap orang memiliki metode yang berbeda-beda, begitupun anak disleksia.
 Apa yang dapat dilakukan
 Adanya komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak disleksia antara orang tua dan guru
 Anak duduk di barisan paling depan di kelas
 Guru senantiasa mengawasi / mendampingi saat anak diberikan tugas, misalnya guru meminta dibuka halaman 15, pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman lain, misalnya halaman 50
 Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu lebih banyak untuk menyiapkan latihan (guru dapat memberikan soal dalam bentuk tertulis di kertas)
 Anak disleksia yang sudah menunjukkkan usaha keras untuk berlatih dan belajar harus diberikan penghargaan yang sesuai dan proses belajarnya perlu diseling dengan waktu istirahat yang cukup.
 Melatih anak menulis sambung sambil memperhatikan cara anak duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung memudahkan murid membedakan antara huruf yang hampir sama. Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis huruf sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh begitu saja. Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan murid harus dilatih menulis huruf-huruf yang hampir sama berulang kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat:g, c, o, d, a, s, q, bentuk zig zag:k, v, x, z, bentuk linear:j, t, l, u, bentuk hampir serupa:r, n, m, h.
 Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda ketika belajar matematika dengan anak disleksia, kebanyakan mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal.
 Aspek emosi. Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif, terutama jika mereka merasa bahwa mereka berbeda dibanding teman-temannya dan mendapat perlakukan yang berbeda dari gurunya. Lebih buruk lagi jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk akibat perbedaan yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini akan membawa anak menjadi individu dengan self-esteem yang rendah dan tidak percaya diri. Dan jika hal ini tidak segera diatasi akan terus bertambah parah dan menyulitkan proses terapi selanjutnya. Orang tua dan guru seyogyanya adalah orang-orang terdekat yang dapat membangkitkan semangatnya, memberikan motivasi dan mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan anak disleksia. Jangan sekali-sekali membandingkan anak disleksia dengan temannya, atau dengan saudaranya yang tidak disleksia.

Masalah Pembelajaran, Disleksia

Apa itu Disleksia?

• Disleksia adalah sejenis masalah pembelajaran khusus yang kerap berlaku.
• Kanak-kanak Disleksia mempunyai masalah menguasai tugasan sekolah walaupun
mereka telah berusaha bersungguh-sungguh
o Mempunyai keupayaan intelek yang normal
o Telah mendapat ransangan dan pembelajaran yang mencukupi
• Masalah asasnya adalah perbezaan cara otak berfungsi dalam menghubungkan simbol
visual dengan bunyi
• Mereka mungkin mengalami kesukaran
o Membaca
o Menulis
o Memahami
o Mengeja
o Mengira
• Dianggarkan 4 – 8 % pelajar sekolah yang bermasalah disleksia
• Kanak-kanak lelaki lebih ramai bermasalah Disleksia berbanding perempuan.

Apakah ciri-ciri Disleksia?
1. Diperingkat pra sekolah mereka mungkin :
o Lambat bertutur
o Mengalami kesukaran sebutan atau rima
o Sukar menulis nama sendiri
o Payah mengenal bentuk atau warna
o Sukar memberitahu cerita yang telah didengarinya
2. Di alam persekolahan, kanak-kanak Disleksia mungkin :
o Gagal menguasai tugasan sekolah seperti membaca, menulis, mengeja atau
mengira
o Tidak suka membaca dan mengelak dari membaca di kelas
o Kesilapan semasa membaca huruf, perkataan atau nombor (Bacaan terbalik) :
▪ 15 dengan 51
▪ “was” menjadi “saw”
▪ ‘b’ dengan ‘d’‘
o Kurang koordinasi seperti sukar mengikat tali kasut
o Keliru dengan konsep masa seperti ‘semalam’, ‘ hari ini’ , ‘esok’
o Kesukaran memahami, mengingati dan mengikuti arahan
o Selalu tersalah letak atau hilang barang atau kerja sekolah
________________________________________
Adakah individu Disleksia mempunyai keistimewaan?
• Antara orang ternama yang juga mengalami Disleksia termasuklah ahli politik (Lee
Kuan Yew), pelakon (Whoopi Goldberg), artis (Leonardo da Vinci) dan saintis
(Albert Einstein)
• Ramai yang berdaya imaginasi tinggi, amat kreatif dan mampu berfikir dari pelbagai
sudut / dimensi
• Bijak dengan kemahiran tangan atau sukan.

Masalah yang mungkin dialaminya
• Salah sangka dan digelar sebagai malas, bodoh atau lembab
• Pembentukan imej diri yang sihat terjejas dan mengalami rasa rendah diri
• Jika tidak dikenalpasti dan dibantu diperingkat awal boleh menyebabkan
o Gangguan emosi (seperti kemurungan)
o Masalah tingkahlaku (seperti melawan, kecelaruan tingkahlaku)
o Rendah pencapaian akademik (menyebabkan keciciran sekolah)

Membantu anak-anak bermasalah Disleksia
Langkah-langkah untuk membantu mereka termasuklah :
1. Bantu kanak-kanak dan keluarga mengendali permasalahan ini dan bina keyakinan
diri anak
2. Rawat penyakit lain yang mungkin berkait seperti Gejala Hiperaktif dan Kurang Daya
Tumpuan
3. Pertingkatkan potensi pembelajaran anak melalui :
o Terapi pertuturan
o Latihan pendengaran dengan bantuan komputer
o Pendekatan pelbagai deria (Menggunakan deria lain untuk membantu
pembelajaran)
1. Deria sentuhan (menggunakan lakaran atas kertas pasir)
2. Deria pendengaran (menggunakan ritma atau bunyi perkataan/ huruf)
3. Merasa pergerakan bibir
4. Menulis huruf atau perkataan
4. Langkah-langkah pemulihan :
o Bantu anak menguasai maklumat secara beransur ansur
o Pengulangan semasa mengajar (konsep ajar berlebihan)



KESULITAN BELAJAR, DISLEKSIA

Kesulitan belajar tidak selalu disebabkan oleh faktor inteligensi yang rendah (kelainan mental), akan tetapi juga disebabkan oleh faktor- faktor non- inteligensi. Dengan demikian, IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan belajar. Disetiap sekolah dalam berbagai jenis dan tingkatan pasti memiliki anak didik yang berkesulitan belajar. Setiap kali kesulitan belajar anak didik yang satu dapat diatasi, tetapi pada waktu yang lain muncul lagi kesulitan belajar anak didik yang lain. Warkitri dkk mengemukakan kesulitan belajar adalah suatu gejala yang nampak pada siswa yang ditandai adanya hasil belajar rendah dibanding dengan prestasi yang dicapai sebelumnya. Jadi, kesulitan belajar itu merupakan suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai oleh adanya hambatan- hambatan tertentu dalam mencapai hasil belajar. M. Alisuf Sabri mengemukakan bahwa kesulitan belajar adalah kesukaran siswa dalam menerima atau menyerap pelajaran disekolah, kesulitan belajar yang dihadapi oleh siswa ini terjadi pada waktu mengikuti pelajaran yang disampaikan atau ditugaskan oleh seorang Guru.
Berhubungan dengan pelajaran matematika, siswa yang mengalami kesulitan belajar antara lain disebabkan oleh hal- hal sebagai berikut:
1. Siswa tidak bisa menangkap konsep dengan benar. Siswa belum sampai keproses abstraksi dan masih dalam dunia konkret. Dia belum sampai kepemahaman yang hanya tahu contoh- contoh, tetapi tidak dapat mendeskripsikannya.
2. Siswa tidak mengerti arti lambang- lambing Siswa hanya menuliskan/ mengucapkan tanpa dapat menggunakannya. Akibatnya, semua kalimat matematika menjadi tidak berarti baginya.
3. Siswa tidak dapat memahami asal- usul suatu prinsip. Siswa tahu apa rumusnya dan menggunakannya, tetapi tidak mengetahui dimana atau dalam konteks apa prinsip itu digunakan.
4. Siswa tidak lancar menggunakan operasi dan prosedur. Ketidaksamaan menggunakan operasi dan prosedur terdahulu berpengaruh kepada pemahaman prosedur lainnya.
5. Ketidaklengkapan pengetahuan Ketidaklengkapan pengetahuan akan menghambat kemampuan siswauntuk memecahkan masalah matematika, sementara itu pelajaran terus berlanjut secara berjenjang.

DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR

Sebelum menetapkan alternatif pemecahan masalah kesultan belajar siswa,
guru sangat dianjur untuk terlebih dahulu melakukan identifikasi (upaya
mengenali gejala dengan cermat) terhadap fenomena yang menunjukkan
kemungkinan adanya kesulitan belajar yang melanda siswa tersebut. Upaya
seperti ini disebut diagnosis yang bertujuan menetapkan “jenis penyakit” yakni
jenis kesulitan belajar siswa.

Dalam melakukan diagnosis diperlukan adanya prosedur yang terdiri atas
langkah-langkah tertentu yang diorentasikan pada ditemukannya kesulitan belajar jenis tertentu yang dialami siswa. Prosedur seperti ini dikenal sebagai “diagnostik” kesulitan belajar.

Banyak langkah-langkah diagnostik yang dapat ditempuh guru antara lain yang cukup terkenal adalah prosedur Weener dan Senf (1982) sebagaimana yang dikutip Wardani (1991) sebagai berikut:
1. Melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika mengikuti pelajaran.
2. Memeriksa penglihatan dan pendengaran siswa, khususnya yang diduga mengalami kesulitan belajar.
3. Mewawancarai orang tua/ wali siswa untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang mungkin menimbulkan kesulitan belajar.
4. Memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar yang dialami siswa.
5. Memberikan tes kemampuan inteligensi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar.

Sedangkan menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono,diagnosis pun dapat berupa hal-hal sebagai berikut:
1. Keputusan mengenai jenis- jenis kesulitan belajar anak (berat dan ringannya).
2. Keputusan mengenai faktor-faktor yang ikut menjadi penyebab kesulitan belajar.
3. Keputusan mengenai faktor utama penyebab kesulitan belajar.

DISLEKSIA DAN SI BUAH HATI
Buah hati tak kunjung mampu mengucapkan sepatah kata, meski sudah berusia 2 tahun? Hati-hati, bisa jadi itu tanda awal Si Kecil mengidap disleksia alias gangguan yang menyebabkan kemampuan bahasanya terganggu.
Bagi para orangtua, berhati-hatilah ketika menghadapi Si Kecil yang kesulitan belajar membaca dan menulis. Bisa jadi buah hati Anda mengidap gangguan perkembangan kemampuan linguistik (membaca dan menulis). Dan yang kerap dikaitkan dengan gangguan ini adalah disleksia atau gangguan kemampuan membaca dan menulis, yang disebabkan adanya kelainan saraf dalam otak.
Gangguan yang bisa menyebabkan seseorang sulit mengingat dan memahami abjad-abjad ini, konon banyak diidap anak-anak yang memiliki masalah belajar di sekolah. "Sebetulnya, disleksia sudah lama ditemukan sebagai salah satu gangguan belajar atau learning dissorder. Tapi, memang tak banyak orang mengenalnya sebagai disleksia," ungkap Iwan Sintera Togi Aritonang Psi, psikolog yang juga terapis di Bimbingan Remedial Terpadu (BRT), Jakarta.
Pengertian disleksia memang kurang populer di kalangan awam, sehingga banyak orangtua tak tahu jika anaknya mengidap disleksia. Buruknya lagi, karena ketidaktahuannya, banyak orangtua memilih menyelesaikan masalah belajar anak dengan cara melobi pihak sekolah agar sang anak diberi toleransi. Dengan anggapan, sang anak akan mampu beradaptasi dan mengejar ketinggalannya, seiring berjalannya waktu.
Akibatnya, masalah disleksia anak menjadi tak pernah terpecahkan. Bahkan, jika ternyata anak tak juga mampu mengejar ketertinggalannya, justru akan berkembang menjadi masalah kepercayaan diri pada sang anak kelak. Ia akan merasa rendah diri karena terlihat bodoh dihadapan teman-temannya. Lalu, prestasi akademiknya akan merosot, hingga menimbulkan penolakan terhadap tuntutan bersekolah.
"Padahal, kecerdasan anak disleksia belum tentu di bawah rata-rata. Justru kebanyakan dari mereka memiliki kecerdasan seperti orang kebanyakan. Ini hanya masalah pemrosesan bahasa dalam otaknya, bukan masalah intelegensia," ungkap pria yang juga psikolog konseling di sekolah anak berkebutuhan khusus, International Center for Special Need in Education, Jakarta.
BERSIFAT BAWAAN
Bagi anak-anak normal lainnya, membedakan huruf ‘b' dengan ‘d', mengeja dan membaca i-b-u dengan ‘ibu', menyalin tulisan, merangkai huruf dan seterusnya, bukanlah hal yang sulit ilakukan. Namun, bagi anak disleksia, hal-hal yang seharusnya mudah dilakukan (berkaitan dengan membaca dan menulis), menjadi sulit bahkan mustahil dilakukan.
Hal ini terjadi karena pengolahan unsur bahasa, seperti pengenalan huruf, merangkai huruf, bunyi huruf, dan mengeja, gagal dilakukan oleh otaknya. Akibatnya, ia lalu tak mampu mengenali tulisan menjadi bentuk pemahaman dalam memorinya. Akhirnya, ia mengalami kesulitan membaca dan menulis.
Kegagalan pemrosesan unsur bahasa ini disebabkan adanya kerusakan di dalam syaraf yang ada di dalam otaknya. Dan kerusakan ini bersifat bawaan, yang didapat anak sejak ia dilahirkan. Dengan kata lain, telah terjadi kerusakan di otak sejak perkembangan otak mulai terbentuk, atau sejak ia masih berada dalam kandungan.
Beberapa tim peneliti dari Universitas Marburg, Wurzburg, Bonn (Jerman) dan institut dari Stockholm (Swedia) menemukan, disleksia disebabkan oleh adanya gen (DCDC2) yang memengaruhi migrasi sel saraf pada otak yang sedang berkembang. Pendekatan lain berasumsi, kerusakan atau kegagalan pembentukan komposisi otak secara sempurna ini juga bisa dipengaruhi oleh kecukupan gizi semasa ibu mengandung.
"Sementara ini, penyebab pasti disleksia sifatnya masih wacana saja. Seperti halnya pada kasus autisme. Masih merupakan faktor risiko," ungkap Iwan berdasarkan pengamatannya selama ini.
Dan oleh karena perkembangan fisiologis anak lelaki lebih dominan pada kemampuan otak kiri, lanjut Iwan, secara genetis peluang kejadian disleksia akan lebih besar terjadi pada anak lelaki. Karena, disleksia adalah produk dari terjadinya ketidaknormalan pada hemister (belahan) otak kiri, yang merupakan daerah penunjang kemampuan bahasa.
KENALI DENGAN TES
Memang, tak semua kesulitan membaca dan menulis merupakan gejala disleksia. Karena, beberapa anak yang mengalami gangguan ini bisa juga disebabkan karena ia memiliki kecerdasan di bawah rata-rata, atau memang memiliki gangguan konsentrasi belajar.
Namun, beberapa tes yang berkaitan dengan kemampuan bahasa bisa saja dilakukan, untuk mempertegas dugaan anak mengidap disleksia. Beberapa tes biasa dilakukan Iwan sebelum memastikan seorang anak benar-benar menderita disleksia, antara lain tes melafalkan huruf satu per satu, dari A sampai Z. Lalu, tes menulis penggalan urutan huruf, misalnya dari G sampai Z.
Ada pula tes mengisi bagian huruf yang kosong misalnya "a, b, c, ..., e, f, ..., h". Juga tes merangkai huruf dan mengeja. Serta tes menulis kata yang didiktekan, menyalin tulisan dari papan tulis atau teks dari lembar lain, dan sejumlah tes lainnya, sesuai kompetensi anak seusianya. Untuk anak yang lebih dewasa, tes dengan menggunakan tanda baca, perlu dilakukan.
Dari beberapa tes tadi, akan diketahui apakah anak bermasalah dengan visualisasi huruf, pemrosesan abjad, atau tanda baca dalam bentuk kata atau kalimat. Sehingga, bisa diketahui apakah ia positif mengidap disleksia. Selain tes tadi, psikolog pun perlu mewawancarai dan memberi tes psikologi, untuk memastikan apakah ia juga memiliki kekurangan dalam hal intelegensia.
PERLU TERAPI
Akan tetapi, para orangtua jangan merasa berkecil hati jika buah hatinya ternyata mengidap disleksia. Konon, superstar Hollywood seperti Tom Cruise, Whoopy Goldberg, dan penemu teori relativitas Albert Einstein, adalah pengidap disleksia.
Ingat, disleksia bukanlah harga mati bagi seseorang untuk memiliki masa depan yang suram.
"Disleksia mungkin akan membuat anak sulit berprestasi secara akademis karena hambatan kemampuan baca-tulis. Tapi, dengan ingatan yang kuat mereka bisa dilatih untuk menutupi kekurangannya," ungkap Iwan.
Jadi, saran Iwan, para orangtua dengan anak disleksia, segera lakukan terapi dan konseling, yang akan memetakan permasalahan kesulitan yang dimiliki sang anak. Kemudian, terapis akan menetapkan jadwal latihan membaca dan menulis. "Biasanya, dijadwalkan 1-2 kali tatap muka per minggu, dengan durasi pengajaran 1 jam setiap pertemuan.
Dan sebaiknya, orangtua perlu ikut konseling agar proses belajarnya kontinyu dan bisa dilakukan pengajaran di rumah," ungkap Iwan.
Sebab, yang dilakukan selama terapi adalah untuk mencari solusi atas masalah sang anak. Misalnya, bagi yang sulit membedakan huruf, akan dicarikan cerita lucu untuk bisa membedakan huruf. Atau, menuliskan huruf yang sulit dibaca dalam huruf kapital, serta mengajak anak menambah perbendaharaan kata. Sehingga, pada beberapa anak disleksia yang parah atau berada di level severe, terapis akan menyarankan penggunaan tape recorder sebagai pengganti catatan.
Kendati demikian, diakui Iwan, disleksia memang tak bisa disembuhkan. Namun dengan menjalani terapi rutin, kekurangan ini bisa diminimalisasi agar ia tetap bisa ‘membaca' dan menulis layaknya orang normal. "Jika orangtua sudah tahu anaknya mengidap disleksia, segera bawa ke psikolog atau terapis remedial teaching. Semakin cepat anak diterapi, semakin mudah kekurangannya diatasi," tegas Iwan.
Apalagi, jika anak sudah beranjak dewasa, tuntutan kompetensi bahasanya akan semakin kompleks. Jika dibiarkan semakin berlarut-larut, akan membuat anak semakin sulit mengejar ketertinggalannya.
MENGENAL GEJALA DISLEKSIA
Disleksia sebetulnya bisa dikenali dari sejumlah gejala yang diperlihatkan sang anak. Sejumlah faktor yang bisa dijadikan pedoman untuk mengenalinya, antara lain:
1. LAMBAT BICARA
Normalnya, kemampuan bahasa sudah berkembang sejak anak berusia setahun. Di usia ini biasanya anak sudah mulai bisa mengucapkan satu kata seperti ‘mam'. Dan menginjak usia 2 tahun, anak biasanya sudah bisa merangkai kata, seperti ‘mama ma-em'.
Menurut Iwan, anak disleksia umunya mengalami keterlambatan bicara sejak awal perkembangan kemampuan bahasanya. "Memang tak semua anak yang lambat bicara mengidap disleksia. Tapi, jika Anda merasa sudah memberi cukup stimulus bagi kemampuan bicaranya, sebaiknya waspadai kemungkinan anak mengidap disleksia."
2. TAK BISA MENGHAFAL HURUF
Menjelang masuk usia sekolah, tak jarang orangtua mendaftarkan Si Kecil ke pre school. Di kelas ini biasanya anak sudah mendapat pelajaran menghafalkan huruf, sebagai bekal belajar membaca di sekolah formal kelak.
Pada anak disleksia, bisa terjadi kesulitan membaca-tulis huruf tertentu, misalnya menyebut ‘t' menjadi ‘j', atau ‘b' menjadi ‘d'. Bagi mereka, huruf-huruf ini sulit dibedakan karena bentuknya yang mirip.
Atau, ketika diminta menyebut huruf A-Z, ia mampu. Tetapi, ketika dipenggal untuk menyebut dari huruf G sampai Z, ia akan bingung. Bagi mereka, huruf bersifat hafalan dari bunyi yang didengarnya. Bukan sebagai ingatan akan visualisasi dari huruf.
3. TAK BISA MENGEJA
Jika Si Kecil sulit mengenali sejumlah huruf, saat masuk sekolah formal, ia akan kesulitan mengeja. Misalnya, ketika diajak mengeja d-a-da, d-u-du, lalu diminta melafalkan d-a (yang seharusnya dibaca ‘da'), ia tak mampu. Atau, kesalahan membaca terbalik, misalnya ‘gajah' menjadi ‘jagah'.
4. SALAH MENYALIN
Seringkali ketika diminta menyalin teks, anak disleksia membuat kesalahan berulang. Dan ketika ditanya di mana letak kesalahannya, ia tak mengerti dan merasa sudah menuliskan semua abjad secara benar. Misalnya, menulis ‘badak' menjadi ‘babak'.
5. MALAS MEMBACA
Oleh karena tak mampu memroses tulisan dalam kata, anak disleksia kerap tak paham apa maksud dari bacaan yang ia dibaca. Lama-lama, ia bisa malas membaca.
TIPS HADAPI ANAK SULIT MEMBACA & MENULIS
Menghadapi anak yang kesulitan membaca dan menulis, terkadang memang sulit dipahami orangtua. "Masak, membaca begitu saja susah?", merupakan kalimat yang kerap dipendam orangtua ketika mulai jengah mengulang mengajarkan sesuatu pada Si Kecil. Jangan menyerah! Simak tips berikut:
• Bertanya Bagian Yang Sulit. Yang perlu orangtua lakukan pertama kali adalah menanyakan bagian yang sulit, apakah pada fonem (bunyi), morfem (arti), tanda baca, huruf, atau lainnya.
• Buat Istilah Unik. Jika anak kesulitan membedakan huruf atau kata, buatlah istilah unik, untuk membantu ingatan jangka panjangnya (long term memory). Misalnya ‘b', huruf yang perutnya buncit.
• Jangan Memaksa. Sejumlah anak tak bisa mengingat bacaan secara cepat. Sebaiknya, jangan memaksanya belajar. Ikuti saja kemampuannya, dan ciptakan terus suasana belajar yang menyenangkan agar ia mau membaca dan menulis.
• Latihan Menyalin dan Mengeja. Ulangi terus latihan menyalin, baik dengan cara didikte atau menyalin dari papan tulis dan tesk di lembar lain. Ajak pula anak mengeja agar ia semakin hafal urutan huruf yang membentuk kata.
• Lakukan Tes
Jika semua upaya sudah dilakukan, jangan segan memberinya tes untuk menguji sejauh mana ia mendapatkan pelajarannya.


By : Sarrah So Pasti Sexy Abiez

1 komentar: