Mengantisipasi Stress Kerja
Kategori Organisasi Industri
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 12 November 2005
Sebab Faktual & Mental
Konon, di negara maju, problem stress kerja ini mendominasi isu lain yang terkait dengan stress, misalnya stress keluarga, stress keuangan atau stress lainnya. Bagaimana kalau di Indonesia?
Terlepas itu menjadi dominan atau tidak, tapi kita semua tahu bahwa stress kerja ini kerap menjangkiti banyak pihak di tempat kerja. Dari sejumlah penjelasan para ahli, stress kerja ini bisa menimbulkan dampak baik, tapi sekaligus buruk bagi yang bersangkutan dan bagi organisasi atau perusahaan. Orang yang terkena stress kerja (dengan catatan, tidak bisa menanggulanginya) cenderung jadi tidak produktif, tidak tertantang untuk menunjukkan kehebatannya, secara tidak sadar malah menunjukkan kebodohannya, malas-malasan, tidak efektif dan tidak efisien, ingin pindah tetapi tidak pindah-pindah, dan seterusnya. Secara kalkulasi manajemen, tentu saja ini merugikan organisasi. Apalagi jika si penderita stress kerja ini jumlahnya banyak di suatu tempat.
Selain terkait dengan menurunnya produktivitas, stress kerja konon juga bisa mengurangi kekebalan tubuh. Karena itu, ada kemungkinan bahwa si penderita ini gampang terkena sakit, dari mulai yang berstadium rendah sampai ke yang berstadium tinggi. Sedikit-sedikit minta izin atau sering tidak masuk kantor. Ini jelas merugikan yang bersangkutan dan juga perusahaan. Stress kerja juga bisa mengganggu komunikasi atau hubungan, baik itu interpersonal dan intrapersonal.
Paradok yang kerap dialami para penderita stress, adalah saat memerlukan bantuan orang lain, akan tetapi dia tidak mampu mengekspresikannya atau melakukannya dengan baik. Akibatnya mudah marah, mudah tersinggung, mudah mengacaukan suasana keakraban, komunikasi yang agresif atau submisif, apatis, dan lain-lain. Karena itu, hubungannya gampang berantakan di tengah jalan, gampang putus, atau gampang ngambek.
Apa itu stress kerja dan dari mana timbul?
Dengan bahasa yang sederhana, stress kerja bisa dipahami sebagai keadaan di mana seseorang menghadapi tugas atau pekerjaan yang tidak bisa atau belum bisa dijangkau oleh kemampuannya. Jika kemampuan seseorang baru sampai angka lima tetapi menghadapi pekerjaan yang menuntut kemampuan dengan angka sembilan, maka sangat mungkin sekali orang itu akan terkena stress kerja.
Dengan pengertian seperti di atas, berarti yang menyebabkan seseorang terkena stress kerja itu ada dua.
Pertama,
karena manajemen, organisasi, atasan, atau pimpinan yang memberikan tugas melebihi kemampuan riil yang dimiliki karyawan. Ini bisa kita sebut sebab faktual. Secara fakta, orang itu benar-benar mendapat tugas atau pekerjaan yang tidak bisa dijangkau oleh kemampuannya.
Kedua,
karena si karyawan sendiri. Kalau orang itu malas-masalan, biasa berpikir negatif, atau tidak mau belajar, mau enaknya saja, ya biasanya dikasih tugas sedikit lebih saja sudah menggerutu, sudah ngomong tidak bisa, tidak mampu, dan seterusnya. Ini bisa kita sebut sebab mental. Secara mental memang karyawan seperti itu perlu diperbaiki.
Dengan kata lain, stress kerja bisa timbul karena kondisi kerja (the work condition) dan kualitas si pekerja (the personal quality). Jika suatu organisasi tidak memiliki standar manajemen yang mengatur lalu lintas pekerjaan, ini mungkin akan menimbulkan stress kerja bagi orang-orang tertentu. Standar manajemen kerja yang tidak jelas akan menciptakan kondisi di mana ada orang-orang tertentu yang kebanjiran pekerjaan tetapi ada juga yang krisis tugas. Standar manajemen kerja yang tidak jelas akan menciptakan kondisi di mana ada orang-orang tertentu yang diberi tanggung jawab melebihi kapasitasnya. Ini yang terkait dengan work condition.
Adapun yang terkait dengan personal quality, misalnya saja, karyawan yang memiliki motivasi kerja bagus, memiliki tujuan karir yang lebih panjang, memiliki kebutuhan berprestasi yang lebih kuat, dan seterunya, akan lebih mudah untuk menyimpulkan target atau tugas sebagai tantangan (challenge), bukan sebagai tekanan (stressful). Stress kerja yang dialami pun menjadi motivator, penggerak dan pemicu kinerja di masa selanjutnya.
Ini beda dengan karyawan yang memiliki motivasi rendah, memiliki tujuan karir yang pendek (hanya asal bisa menerima gaji atau asal tidak nganggur), atau memiliki kebutuhan berprestasi yang kurang kuat. Karyawan tipe kedua ini akan mudah berkesimpulan bahwa tugas atau target yang diberikan kepadanya sebagai stressor. Karyawan tipe ini gampang pusing, gampang bingung, gampang merasa tertekan.
Untuk Para Pimpinan
Kalau mengacu pada laporan ILO (Condition of Work Digest, Vol. 11/2, ILO Publication Center) kondisi kerja yang bisa digambarkan dengan penjelasan di bawah ini akan berpotensi menimbulkan stress kerja:
Pertama adalah desain tugas / pekerjaan yang stressful. Ini misalnya beban kerja yang terlalu berat, kurang ada waktu untuk istirahat, jam kerja yang terlalu panjang, rutinitas yang membosankan atau target yang sulit dicapai berdasarkan kemampuan yang dimiliki pekerja (unrealistic goal or target)
Kedua adalah gaya manajemen yang stressful. Ini misalnya kurang melibatkan pekerja dalam proses mengambil keputusan, komunikasi yang kurang mencair atau kebijakan manajemen yang terlalu kejam (lack of family-friendly policies) yang hanya mementingkan faktor efisiensi dan mengabaikan faktor manusiawi.
Ketiga adalah hubungan interpersonal yang tidak kondusif. Ini misalnya terlalu banyak konflik antarindividu, kurang bersahabat antarsesama, krisis toleransi, dan seterusnya. Konon, miliu kerja yang sudah mencekam seperti ini tidak saja berakibat pada hambarnya suasana kerja antarpekerja, tetapi juga berimbas pada bagaimana orang-orang di dalam organisasi itu melayani orang lain, katakanlah seperti tamu, pelanggan, pembeli atau penelpon. Karena mereka merasakan "kekejaman" maka mereka pun memperlakukan orang lain secara kejam.
Keempat adalah peranan kerja yang tidak jelas. Ini misalnya terjadi konflik peranan, ketidakjelasan hasil kerja yang bisa diharapkan atau terlalu banyak tanggung jawab yang dibebankan.
Kelima adalah nasib karir yang tidak jelas. Ini misalnya terjadi ketidakamanan (insecurity), tidak ada kesempatan untuk berkembang, tidak diberi peluang untuk lebih maju, cepat melakukan perubahan yang tidak mempertimbangkan kesiapan pekerja (disorientasi), dan lain-lain. Jika ada orang yang di-PHK dengan alasan-alasan yang tidak jelas dan tidak dijelaskan, maka keputusan demikin ini bisa mengancam rasa aman pekerja lain. Mereka akan berpikir bahwa dirinya bisa saja akan bernasib sama. Kalau sudah ada banyak orang yang punya kesimpulan demikian tentu saja virus stress kerja cepat menyebar.
Keenam adalah kondisi lingkungan yang mengancam keselamatan. Ini misalnya tidak nyaman, tidak sehat, tidak leluasa, dan lain-lain. Jika seseorang harus menjalankan tugas yang ber-resiko sementara dia secara mental dan skill tidak siap, bisa saja akan terkena stress kerja.
Dari enam hal di atas, konon ada tiga yang paling dirasakan menjadi stressor, yaitu: a) memberi target, tugas atau tanggung jawab yang tidak realistis, b) lemah dukungan dari atasan, dan c) tidak membuka pintu keterlibatan dalam proses mengambil keputusan.
Nah, untuk mengurangi, mengantisipasi atau mengatasinya, maka saran yang bisa kita pertimbangkan adalah:
1. Merumuskan standar, criteria dan strategi untuk mengatur muatan kerja agar benar-benar sesuai dengan kapabilitas dan sumberdaya yang tersedia. Kalau kita menerima order yang deadline-nya begitu menekan, sementara kita secara skill dan resource belum siap dan itu kita "paksakan", ya mau tidak mau akan menimbulkan stress. Untuk mengantisipasinya berarti kita perlu mempersiapkan diri untuk memiliki kualitas yang sesuai dengan standard demand yang sekiranya akan kita hadapi. Caranya, dengan meng-up grade diri.
2. Merancang pekerjaan atau tugas yang kira-kira menantang, memberikan nilai tambah, memberikan kesempatan orang untuk mengaplikasikan keahliannya atau pengetahuan atau pengalaman. Bagaimana jika pekerjaan yang ada saat ini adalah rutinitas yang itu-itu saja? Mungkin pilihannya adalah memberi tantangan baru yang kira-kira bisa dicapai dan bisa dijadikan bukti adanya perkembangan atau peningkatan.
3. Mempertegas peranan dan tanggung jawab masing-masing orang agar tidak terjadi crowded atau overlapping. Ini bisa dilakukan secara formal (kesepakatan baku) atau non-formal (catatan berdasarkan perkembangan keadaan).
4. Memberi kesempatan berpartisipasi dalam proses mengambil keputusan. Orang akan merasa bertanggung jawab apabila dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Merasa bertanggung jawab adalah bagian positif dari kejiwaan. Jiwa yang positif akan tidak mudah terkena stress kerja.
5. Mengurangi berbagai bentuk komunikasi dan informasi yang bisa menimbulkan kekacauan, ketakutan atau ketidakpastian.
6. Memberi ruang terjadinya proses keakraban sosial di antara para pekerja, misalnya makan bareng, mengunjungi yang sakit, mengadakan perlombaan, dan lain-lain
7. Menerapkan jam kerja yang compatibel dengan tuntutan perubahan eksternal maupun tujuan yang ingin dicapai.
8. Menetapkan manajemen kinerja: memberi reward kepada yang berprestasi dan menegur yang melanggar serta menyemangati yang tertinggal. Jangan sampai kita bersikap acuh tak acuh pada yang berprestasi, acuh tak acuh pula pada yang melanggar dan acuh tak acuh pula pada yang tertinggal.
9. Menghargai kepentingan atau nilai-nilai yang dianut individu selama tidak bertentangan dengan akal sehat secara umum, misalnya memberikan hak istirahat bagi karyawan yang baru saja terkena musibah semacam kematian keluarga
10. Menjaga keputusan dan aksi (implementasi) agar sesuai dengan nilai-nilai yang dianut organisasi
Untuk Para Karyawan
Apa yang bisa dilakukan oleh seorang karyawan untuk menangani stress kerja? Kalau tidak bisa menangani seluruhnya, apa yang bisa dilakukan untuk menguranginya? Kalau tidak bisa menguranginya, apa yang bisa dilakukan untuk mengambil manfaat darinya? Berikut ini adalah hal-hal yang masih mungkin Anda lakukan:
Pertama,
panggilan tanggung jawab itu jalankan / artikan sebagai sebuah peluang atau kesempatan belajar. Terkadang atasan atau pimpinan juga belum tahu sejauhmana kemampuan Anda dalam sebuah tugas dan sejauhmana tugas itu realistis bisa dijalakan atau sejauh mana target itu bisa dicapai. Agar Anda dan atasan sama-sama tahu, ya jalankan lebih dulu lalu jelaskan hasilnya berdasarkan pengalaman di lapangan.
Apakah Anda melihat tugas itu sebagai stressor atau opportunity, toh ujung-ujungnya Anda juga tetap harus menjalankannya, terutama jika Anda tidak punya pilihan lain yang available. Bukankah begitu? Inilah yang bisa disebut dengan mengubah cara melihat, bersikap dan cara memperlakukan. Perbedaannya, Anda yang menganggap tugas sebagai stressor, tidak memperoleh nilai tambah apapun, baik bagi diri sendiri maupun hasil kerja. Bagaimana bisa menghasilkan yang terbaik jika hati sudah berkeluh kesah. Sebaliknya, nilai tambah sudah pasti ada di tangan bagi Anda yang menerima tugas dan tanggung jawab sebagai sebuah peluang belajar. Anda merasa tambah pengalaman dan skill, tambah rasa percaya diri, tambah dipercaya, dsb.
Kedua,
gunakan sebagai wadah untuk memperkuat diri. Kekuatan manusia itu dibentuk dengan cara seperti kekuatan yang dimiliki batang pohon. Batang pohon itu bertambah kekuatannya karena hembusan angin yang menggoyahnya. Begitu juga dengan kekuatan mental manusia dalam menghadapi hal-hal sulit. Kekuatan ini bukan kekuatan yang dibawa dari lahir, tetapi kekuatan yang merupakan hasil dari olah kemampuan dalam menghadapi hal-hal sulit. Pendeknya, kalau orang sudah terbiasa menjadikan kesulitan sebagai saran untuk "give-up", lama-lama terbiasa give-up (patah). Sebaliknya, kalau orang itu memilih untuk menantang atau membuktikan diri sebagai orang yang tangguh, lama-lama kelamaan akan terbiasa menjadi orang yang tangguh.
Ketiga,
jadikan sarana untuk menggali ilmu, informasi, atau cara melakukan sesuatu (tehnik & metode). Kalau Anda hanya menghadapi target atau pekerjaan yang biasa-biasa saja, mungkin pengetahuan, informasi, cara yang Anda miliki ya mungkin itu-itu saja. Sebaliknya, jika Anda menghadapi target yang luar biasa, mungkin untuk sementara waktu Anda tertekan, tetapi jika itu digunakan sebagai jalan untuk menambah keahlian, lama-lama kan tidak begitu.
Terkadang juga bahwa pekerjaan itu menjadi beban (stressor) atau tidak, bukan karena beban pekerjaannya, tetapi karena kemampuan kita yang belum naik. Kemampuan di sini bisa berupa kemampuan mental (mental skill) atau karena kemampuan kerja (job skill). Dengan menjadikan pekerjaan sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan, berarti kemungkinan terjadinya stress kerja di kemudian hari bisa berkurang.
Satu hal lagi yang penting di sini adalah menjadikan pekerjaan yang kita anggap stressor itu sebagai sarana untuk menambah tehnik, metode atau cara dalam menangani pekerjaan. "Bagaimana kalau gaji kita tidak naik-naik padahal keahlian dan kemampuan kita sudah naik?" Jika Anda tidak berhenti meng-upgrade skill, serugi-ruginya Anda hari ini masih akan untung di hari esok. Skill Anda akan menaikkan kualitas Anda. Tapi jika Anda berhenti, ini malah membuat Anda stress dua kali: hari ini dan esok.
Keempat,
jadikan sarana untuk memperluas friendships. Biasanya, saat kita menghadapi tugas atau pekerjaan yang stressful, kita pun mulai berani untuk tanya sana-sini. Sebaiknya ini perlu kita jadikan pembuka untuk memperluas jaringan. Kelemahan kita terkadang adalah menghubungi orang hanya pada saat-saat kepepet. Alangkah baiknya kalau ini kita follow-up-i setelah kita tidak kepepet lagi nanti dan kita perdalam lagi hubungan yang telah ada.
Kelima,
pikirkan diri anda. Pada saat-saat menghadapi pekerjaan yang stressful, jangan hanya membayangkan atasan, manajemen, atau pimpinan yang suka maksa. Yang lebih penting untuk Anda bayangkan adalah memikirkan diri Anda yang sedang stress dan bagaimana cara mengatasinya. Kalau Anda hanya memikirkan atasan, mungkin Anda hanya akan menyalahkannya. Tapi jika Anda fokus memikirkan diri sendiri, maka yang muncul adalah kemauan atau inisiatif untuk mengatasi masalah anda.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar